Perbedaan Gender dalam Faktor Risiko dan Profil Klinis Pasien Stroke Iskemik





Perbedaan Gender dalam Faktor Risiko dan Profil Klinis Pasien Stroke Iskemik
Diterbitkan oleh
David Kevin Handel Hutabarat
Diterbitkan pada
Senin, 22 September 2025


Penelitian di RS Haji Adam Malik Medan menunjukkan adanya perbedaan faktor risiko dan gejala stroke iskemik antara laki-laki dan perempuan. Temuan ini menegaskan perlunya strategi pencegahan dan diagnosis yang lebih peka gender.
Stroke adalah salah satu penyakit yang paling ditakuti di dunia medis modern. Ia datang tiba-tiba, sering tanpa peringatan, dan meninggalkan dampak yang lama. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa stroke menjadi penyebab utama kecacatan jangka panjang, sementara pada tahun 2021, satu dari enam kematian akibat penyakit kardiovaskular disebabkan oleh stroke. Melihat besarnya ancaman itu, riset mengenai faktor risiko dan gejala stroke terus digalakkan. Tidak hanya secara umum, tetapi juga lebih rinci—termasuk perbedaan yang mungkin terjadi antara laki-laki dan perempuan.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan, mencoba menyingkap pertanyaan ini. Artikel ilmiah berjudul Gender differences in risk factors and clinical profiles of ischemic stroke patients: A cross-sectional study at Adam Malik Hospital, Medan diterbitkan pada 2025 di Journal of Medicinal and Pharmaceutical Chemistry Research. Penelitian ini ditulis oleh Cut Aria Arina dan Yunika Khairina, keduanya berasal dari Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Mereka menyoroti stroke iskemik—jenis stroke yang paling sering terjadi, di mana aliran darah ke otak tersumbat oleh gumpalan. Dengan desain studi potong lintang, mereka menganalisis data 227 pasien yang menjalani perawatan sepanjang tahun 2022. Dari jumlah tersebut, 117 pasien adalah laki-laki dan 110 perempuan. Tujuannya sederhana namun penting: mengidentifikasi perbedaan faktor risiko dan profil klinis antara pasien laki-laki dan perempuan agar penanganan stroke bisa lebih tepat sasaran.
Hasilnya memberikan gambaran menarik. Rata-rata usia pasien laki-laki yang terkena stroke adalah 57,7 tahun, sedangkan perempuan sedikit lebih tua, 62,2 tahun. Artinya, laki-laki cenderung mengalami stroke di usia lebih muda, sementara perempuan lebih banyak terkena ketika memasuki usia lanjut. Hal ini sesuai dengan pola global yang menunjukkan laki-laki memiliki risiko lebih tinggi di usia produktif, tetapi setelah menopause, risiko perempuan meningkat dan bisa melampaui laki-laki.
Ketika berbicara soal faktor risiko, penelitian ini menyoroti beberapa hal yang sangat berbeda antara kedua kelompok. Pada laki-laki, faktor yang paling signifikan adalah kebiasaan merokok, hipertensi, dan penyakit arteri koroner. Merokok, misalnya, masih sangat lekat dengan laki-laki dewasa, terutama usia 18–44 tahun. Asap rokok merusak pembuluh darah dan mempercepat terjadinya penyumbatan, sehingga risiko stroke meningkat. Hipertensi dan penyakit jantung koroner semakin memperkuat ancaman itu.
Di sisi lain, pada perempuan, faktor yang paling menonjol adalah obesitas. Kelebihan berat badan terbukti meningkatkan risiko aterosklerosis atau penyempitan pembuluh darah di seluruh tubuh, termasuk otak. Dalam penelitian ini, prevalensi obesitas pada pasien perempuan jauh lebih tinggi dan berhubungan signifikan dengan terjadinya stroke. “Temuan ini penting karena menunjukkan bahwa pola risiko tidak identik. Penanganan pasien stroke harus mempertimbangkan faktor yang lebih dominan pada masing-masing jenis kelamin,” jelas Cut Aria Arina saat diwawancarai mengenai riset ini.
Dari sisi gejala, penelitian ini juga menemukan hal menarik. Secara umum, gejala klasik stroke iskemik seperti kelemahan pada satu sisi tubuh (hemiparesis), bicara pelo (dysarthria), atau gangguan bahasa (afasia) muncul pada laki-laki maupun perempuan tanpa perbedaan signifikan. Namun, terdapat dua gejala yang lebih sering muncul pada perempuan: kehilangan kesadaran dan sakit kepala. Hal ini memberi tantangan tersendiri karena gejala tersebut bisa dianggap tidak khas, sehingga diagnosis stroke pada perempuan berisiko terlambat ditegakkan.
Fakta bahwa perempuan lebih sering menunjukkan gejala non-fokal atau atipikal memang sudah lama jadi perhatian dunia medis. Gejala seperti pusing, bingung, nyeri dada, atau palpitasi sering kali menyesatkan, bahkan bagi tenaga medis. Akibatnya, stroke pada perempuan berisiko tidak terdeteksi sejak dini. Penelitian Arina dan Khairina memperkuat bukti bahwa kesadaran akan perbedaan ini sangat penting dalam praktik klinis.
Mengapa perbedaan ini bisa terjadi? Sejumlah teori diajukan. Salah satunya berkaitan dengan peran hormon. Estrogen pada perempuan muda diketahui memiliki efek protektif terhadap pembuluh darah. Ia membantu menjaga elastisitas dinding pembuluh dan memperlancar aliran darah. Namun setelah menopause, kadar estrogen menurun drastis, sehingga perlindungan itu hilang. Sementara itu, pada laki-laki, testosteron justru memiliki efek yang berlawanan, meningkatkan risiko masalah kardiovaskular sejak usia lebih muda.
Selain hormon, gaya hidup juga memberi kontribusi. Kebiasaan merokok lebih umum pada laki-laki, sedangkan obesitas lebih sering dijumpai pada perempuan, terutama setelah usia pertengahan. Pola makan, aktivitas fisik, serta faktor sosial turut membentuk profil risiko ini. Seperti dijelaskan Cut Aria Arina, “Data yang kami dapatkan menegaskan bahwa pendekatan pencegahan stroke tidak bisa satu resep untuk semua. Perempuan dan laki-laki punya kerentanan berbeda yang harus diperhitungkan.”
Penelitian ini juga menemukan bahwa diabetes mellitus, atrial fibrilasi, dislipidemia, dan penyakit jantung struktural tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara laki-laki dan perempuan. Artinya, faktor-faktor tersebut berlaku sama kuat pada keduanya. Temuan ini berbeda dengan beberapa studi internasional yang menunjukkan atrial fibrilasi lebih sering menjadi faktor risiko pada perempuan. Perbedaan ini mungkin terjadi karena jumlah sampel yang relatif terbatas dan heterogenitas populasi pasien di Medan.
Bila dibandingkan dengan literatur global, hasil penelitian ini sejalan dengan studi-studi besar seperti INTERSTROKE yang menyebut bahwa hampir 90 persen risiko stroke dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang bisa dimodifikasi, seperti hipertensi, merokok, obesitas, pola makan, aktivitas fisik, diabetes, konsumsi alkohol, hingga stres. Namun, detail perbedaan gender menambah lapisan pemahaman baru yang krusial bagi klinisi.
Dari sisi metodologi, penelitian ini menggunakan desain potong lintang berbasis data rekam medis pasien di Rumah Sakit Haji Adam Malik sepanjang tahun 2022. Sebanyak 227 pasien dipilih dengan metode consecutive sampling, yang berarti setiap pasien dengan diagnosis stroke iskemik dan data lengkap dimasukkan ke dalam analisis. Meski sederhana, desain ini memungkinkan peneliti menggambarkan pola nyata di lapangan dengan cukup baik.
Meski begitu, Arina tidak menutup mata terhadap keterbatasan studi mereka. Karena penelitian dilakukan hanya di satu rumah sakit, hasilnya belum tentu mewakili populasi yang lebih luas. Selain itu, ada beberapa faktor risiko spesifik perempuan yang belum dianalisis, seperti riwayat komplikasi kehamilan, penggunaan terapi hormon estrogen, atau lamanya paparan estrogen sepanjang hidup dari menarche hingga menopause. Faktor-faktor ini dalam banyak studi internasional terbukti terkait erat dengan risiko stroke pada perempuan.
Kendati ada keterbatasan, temuan penelitian ini tetap relevan bagi praktik klinis. Dokter dapat lebih waspada bahwa pasien laki-laki usia lebih muda dengan riwayat merokok atau hipertensi punya risiko besar. Sementara itu, pada perempuan, perhatian ekstra perlu diberikan pada obesitas serta gejala-gejala non-fokal yang sering kali diabaikan. Bila kesadaran ini meningkat, diagnosis bisa ditegakkan lebih cepat, dan penanganan bisa dilakukan lebih tepat waktu.
Di Indonesia, stroke menjadi penyebab utama kecacatan dan salah satu penyebab kematian terbanyak. Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensinya terus meningkat seiring bertambahnya usia penduduk dan perubahan gaya hidup. Oleh karena itu, penelitian lokal seperti yang dilakukan Arina dan Khairina sangat penting. Dengan data yang spesifik dari pasien di Medan, hasil penelitian ini memberikan gambaran yang lebih dekat dengan realitas di lapangan.
Menariknya, penelitian ini juga mengingatkan kita bahwa isu kesehatan tidak bisa dilepaskan dari aspek gender. Perbedaan biologis, hormonal, dan sosial membentuk pengalaman penyakit yang berbeda. Menurut Arina, “Kami berharap hasil penelitian ini bisa membuka jalan bagi program pencegahan yang lebih tepat sasaran, baik untuk laki-laki maupun perempuan.” Ucapan ini mencerminkan semangat peneliti untuk tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga menggunakannya untuk perbaikan nyata dalam layanan kesehatan.
Ke depan, penelitian lebih lanjut dengan cakupan lebih luas tentu diperlukan. Analisis multi-center dengan jumlah pasien lebih banyak akan membantu memperkuat temuan. Selain itu, eksplorasi faktor risiko spesifik pada perempuan, seperti riwayat reproduksi dan penggunaan hormon, akan memperkaya pemahaman. Namun, sebagai langkah awal, penelitian ini sudah memberikan kontribusi penting.
Dari uraian di atas, jelas bahwa perbedaan gender dalam stroke bukan sekadar catatan statistik. Ia nyata, memengaruhi usia onset, faktor risiko, hingga gejala klinis. Pengetahuan ini seharusnya membuat praktisi medis lebih cermat dalam mendiagnosis dan mencegah. Dan bagi masyarakat umum, kesadaran ini bisa menjadi pengingat bahwa menjaga kesehatan tidak cukup dengan resep generik, tetapi harus mempertimbangkan kondisi masing-masing.
Penelitian oleh Cut Aria Arina dan Yunika Khairina ini membuktikan bahwa riset lokal mampu menghadirkan wawasan berharga yang relevan secara global. Di tengah angka kejadian stroke yang terus meningkat, kontribusi mereka menjadi batu pijakan penting menuju layanan kesehatan yang lebih peka gender dan lebih efektif.
Detail Paper
- Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia