Menata Ulang Wajah Kota: Desain Streetscape Berkelanjutan Menuju Green City di Indonesia dan Malaysia

Menata Ulang Wajah Kota: Desain Streetscape Berkelanjutan Menuju Green City di Indonesia dan Malaysia
Diterbitkan oleh
David Kevin Handel Hutabarat
Diterbitkan pada
Selasa, 09 Desember 2025

Artikel ini membahas penelitian lintas negara yang menganalisis bagaimana desain streetscape—dari aspek fungsional, ekologis, sosial, hingga ekonomi—mampu membentuk kota hijau yang lebih manusiawi. Studi yang dilakukan di Medan dan Johor Bahru ini menunjukkan bahwa keberhasilan green city terletak pada keseimbangan desain ruang publik, bukan hanya banyaknya pepohonan.
Ketika kita berjalan di trotoar yang dengan pepohonan berjajar, bangku-bangku kecil, dan jalan yang tertata, mungkin kita tak sadar bahwa semua itu adalah hasil dari konsep yang disebut streetscape. Hal ini bukan sekadar tampilan jalan, tapi wajah sebuah kota. Cerminan bagaimana manusia hidup berdampingan dengan lingkungan.
Di tengah tantangan urbanisasi dan polusi yang kian meningkat, tim peneliti dari Universitas Sumatera Utara, Hilma Tamiami Fachrudin dan Rahmi Karolina bersama Siti Hajar Binti Misnan dari Universiti Teknologi Malaysia melakukan penelitian menarik. Bagaimana desain streetscape di kawasan komersial bisa membantu mewujudkan kota hijau yang berkelanjutan. Mereka tidak hanya melihat dari sisi estetika, tapi juga sosial, ekologis, dan ekonomi. Dari penelitian ini, muncul kesimpulan penting, yakni sebuah kota tidak akan menjadi “green city” hanya karena banyak pohon, tetapi karena ruang publiknya dirancang dengan rasa peduli terhadap manusia dan alam.
Penelitian lintas negara ini mengambil dua studi kasus kota Medan di Indonesia dan Johor Bahru di Malaysia. Dua kota besar dengan karakter ekonomi dan sosial yang mirip, tapi pendekatan urban yang berbeda. Tim peneliti menelusuri kawasan komersial di kedua kota, mewawancarai warga, mengamati perilaku pengguna jalan, dan menganalisis elemen-elemen desain seperti tata hijau, sirkulasi kendaraan, serta interaksi sosial di ruang publik.
“Hasilnya menarik ditemukan di Medan, aspek fungsional dan ekologis terbukti berperan besar dalam membentuk kualitas streetscape. Jalan yang aman, nyaman, serta ramah pejalan kaki menjadi faktor utama yang memengaruhi persepsi warga terhadap lingkungan kota. Sementara di Johor Bahru, aspek sosial dan ekonomi justru lebih dominan. Ruang publik yang mendukung aktivitas komersial, interaksi sosial, dan rasa aman menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat,” jelas Hilma Tamiami
Namun, di balik perbedaan itu, keduanya bertemu pada satu titik desain streetscape yang baik adalah desain yang membuat orang ingin berjalan kaki. Di era kota yang serba cepat dan kendaraan mendominasi, ajakan untuk berjalan kaki mungkin terdengar sederhana, tapi itulah inti dari kota berkelanjutan. Karena dengan berjalan, manusia berinteraksi, udara menjadi lebih bersih, dan kota kembali manusiawi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survei dan analisis regresi untuk mengukur pengaruh empat dimensi utama. Fungsional, ekologis, sosial, dan ekonomi yang dikomparasi terhadap kualitas lingkungan perkotaan. Tapi di balik angka-angka itu, tersimpan narasi yang lebih besar: bagaimana desain ruang publik bisa menjadi alat rekonsiliasi antara modernitas dan keberlanjutan.
Aspek fungsional misalnya, bukan sekadar soal trotoar yang lebar, tapi tentang bagaimana orang merasa aman dan nyaman untuk berjalan. Elemen ekologis bukan hanya soal menanam pohon, tetapi memastikan vegetasi yang digunakan mampu menyerap panas, menurunkan suhu lingkungan, dan mendukung sistem air hujan alami. Aspek sosial berbicara tentang ruang untuk berinteraksi, tempat orang bisa berhenti, berbincang, atau sekadar menikmati suasana. Sementara aspek ekonomi memastikan kawasan itu tetap hidup, memberi manfaat bagi pelaku usaha tanpa merusak keseimbangan lingkungan.
“Yang membuat penelitian ini menonjol adalah cara peneliti menyatukan perspektif dua negara untuk memahami satu visi: green city yang berakar pada budaya Asia Tenggara. Dalam konteks tropis, kota hijau bukan berarti meniru model Eropa dengan taman-taman besar, tetapi menyesuaikan dengan iklim dan perilaku masyarakat lokal. Di Medan, misalnya, peneduh alami dari pepohonan besar lebih efektif daripada kanopi buatan. Sementara di Johor Bahru, ruang publik multifungsi yang bisa digunakan untuk kegiatan sosial dan ekonomi terbukti lebih disukai warga” jelas Siti Hajar Binti Misnan mengkomparasi keadaan di Medan, Indonesia dan Johor Baru, Malaysia.
Studi ini juga menekankan pentingnya partisipasi warga dalam desain kota. Ruang publik yang sukses bukan hasil arsitek semata, melainkan kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan pengguna. Di kawasan Kesawan, Medan, misalnya, upaya revitalisasi ruang jalan menjadi area pejalan kaki baru menunjukkan bahwa warga bersedia berubah jika mereka dilibatkan sejak awal. Ketika masyarakat merasa memiliki, mereka menjaga. Dan dari situ, keberlanjutan bukan lagi jargon, melainkan praktik sehari-hari.
Lebih dari sekadar riset desain, penelitian ini juga menjadi refleksi sosial: kota masa depan tidak hanya diukur dari tinggi gedung atau luas mal, tetapi dari bagaimana ia memperlakukan manusianya. Di jalan yang teduh dan ramah, ekonomi tumbuh, komunitas hidup, dan lingkungan bernapas lebih lega.
Peneliti menyimpulkan bahwa keberhasilan sebuah streetscape berkelanjutan bergantung pada kemampuan kota untuk mengintegrasikan empat aspek utama secara seimbang. Kota yang hanya menekankan keindahan tanpa fungsi akan cepat mati; yang menonjolkan ekonomi tanpa ekologi akan kehilangan kenyamanan; dan yang terlalu fokus pada lingkungan tanpa memperhatikan sosial akan terasa asing bagi warganya. Keseimbangan itulah yang menjadi inti dari green city. Bukan sekadar hijau dalam warna, tapi dalam cara berpikir.
“Melalui penelitian bersama ini, Universitas Sumatera Utara menegaskan peran akademisi dalam menata masa depan kota. Dari kampus, lahir gagasan yang tak hanya dipresentasikan di konferensi, tapi bisa menjadi panduan nyata bagi perencana kota, arsitek, dan pembuat kebijakan. Di tengah gempuran pembangunan yang sering mengabaikan ruang manusia, penelitian ini menjadi pengingat. Bahwa kota yang baik bukan kota yang besar, melainkan kota yang membuat warganya merasa kecil tapi berarti.” tutup Hilma Tamiami
Akhir dari laporan riset kolaborasi bermakna ini, para peneliti menulis kalimat sederhana tapi kuat: “Desain jalan adalah desain kehidupan.” Karena jalan bukan sekadar jalur lalu lintas, melainkan ruang tempat manusia bertemu, berinteraksi, dan membangun identitas bersama. Dalam pandangan itu, setiap pohon di trotoar, setiap bangku taman, setiap bayangan yang meneduhkan bukan sekadar detail arsitektur, tapi simbol peradaban yang beradab terhadap lingkungannya. Dari Medan hingga Johor Bahru, semangat itu sama. Membangun kota yang tidak hanya berdiri, tapi juga bernapas.
Detail Paper
- Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
- Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
- Built Environment and Surveying Faculty, Universiti Teknologi Malaysia, Johor Bahru, Malaysia