A11Y

HOME

MENU

CARI

Pendidikan sebagai Pelindung Utama dari Pernikahan Dini di Pedesaan Indonesia

Diterbitkan Pada03 Juni 2025
Diterbitkan OlehDavid Kevin Handel Hutabarat
Pendidikan sebagai Pelindung Utama dari Pernikahan Dini di Pedesaan Indonesia
Copy Link
IconIconIcon

Pendidikan sebagai Pelindung Utama dari Pernikahan Dini di Pedesaan Indonesia

 

Diterbitkan oleh

David Kevin Handel Hutabarat

Diterbitkan pada

Selasa, 03 Juni 2025

Logo
Download

Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki peran penting dalam mencegah pernikahan dini di pedesaan Indonesia. Hasil riset menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya hak, tetapi juga strategi pemberdayaan perempuan.

Pernikahan dini atau menikah di usia muda masih menjadi salah satu tantangan sosial terbesar yang dihadapi Indonesia, terutama di wilayah pedesaan.Berdasarkan penelitian terbaru yang dipimpin oleh Maya Fitria dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara bersama tim yang berasal dari berbagai institusi seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Universitas Airlangga, dan Universitas Ahmad Dahlan, ditemukan bahwa tingkat pendidikan memiliki peran sangat menentukan dalam menekan angka pernikahan usia muda. Dengan menggunakan data besar dari Survei Kinerja dan Akuntabilitas Pemerintah tahun 2019, penelitian ini menyajikan gambaran jelas bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan seorang gadis, semakin kecil peluangnya menikah sebelum usia 19 tahun.

Fenomena pernikahan dini di desa bukan hanya sekadar masalah statistik. Sekitar 11,9% gadis remaja di wilayah pedesaan Indonesia diketahui menikah sebelum usia 19 tahun, yang berarti hampir satu dari sepuluh gadis menikah ketika mereka sebenarnya masih berada di masa remaja, di mana seharusnya mereka fokus pada pendidikan dan pengembangan diri. Maya Fitria mengungkapkan, “Pendidikan bukan sekadar angka atau gelar, tetapi alat pemberdayaan yang memberikan perempuan muda kemampuan untuk membuat pilihan hidup yang tepat dan memahami konsekuensi dari menikah terlalu dini.”

Tidak hanya di Indonesia, pernikahan dini juga menjadi masalah global yang tersebar di berbagai wilayah, terutama di kawasan Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Di Asia Tenggara sendiri, termasuk Indonesia, pernikahan usia muda masih cukup tinggi dan berkontribusi pada tingginya angka kelahiran remaja yang berpotensi memperparah masalah kesehatan ibu dan anak. Dengan latar belakang itulah penelitian ini menekankan pentingnya pendidikan sebagai pencegah utama.

Hasil penelitian ini sangat mengejutkan dalam menunjukkan risiko besar yang dihadapi oleh gadis dengan pendidikan rendah. Mereka yang hanya tamat sekolah dasar berpeluang menikah dini hingga 449 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang menempuh pendidikan perguruan tinggi. Angka ini menegaskan betapa tajamnya jurang kesempatan antara anak perempuan yang melanjutkan sekolah dan yang berhenti dini. Maya menambahkan, “Ketika seorang gadis tidak mendapatkan pendidikan yang layak, ia cenderung memiliki pilihan terbatas dan mudah terjebak dalam siklus pernikahan dini yang sulit diputus.”

Namun, akar masalah pernikahan dini bukan hanya soal ekonomi. Banyak keluarga yang masih menjadikan norma sosial dan tradisi sebagai alasan utama untuk menikahkan anak perempuan mereka sejak dini. “Tekanan budaya dan sosial sangat kuat di pedesaan. Banyak orang tua percaya bahwa menikahkan anak perempuan lebih awal adalah cara menjaga kehormatan keluarga dan melindungi anak dari risiko stigma sosial, seperti hubungan pra-nikah yang dianggap tabu,” jelas Maya. Fakta ini memperlihatkan kompleksitas persoalan yang tidak bisa diatasi hanya dengan faktor ekonomi saja.

Dampak pernikahan dini sangat luas dan serius. Selain risiko kesehatan fisik yang tinggi, seperti komplikasi kehamilan dan persalinan yang berbahaya, remaja yang menikah muda juga menghadapi tekanan mental dan sosial. Mereka kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, membangun keterampilan, dan mempersiapkan diri menjadi perempuan yang mandiri dan berdaya. Maya menegaskan, “Pernikahan dini bukan hanya merampas masa kanak-kanak dan remaja, tapi juga merampas masa depan yang seharusnya cerah dan penuh peluang.”

Selain dampak pribadi, pernikahan dini juga berkontribusi pada tingkat kemiskinan yang berkelanjutan dalam keluarga dan komunitas. Perempuan yang menikah muda cenderung memiliki pendidikan rendah, keterampilan kerja yang minim, dan ketergantungan ekonomi yang tinggi pada pasangan atau keluarga. Ini menjadi siklus yang sulit diputus dan sering berujung pada ketimpangan sosial yang semakin melebar.

Penelitian ini memberikan gambaran bahwa untuk mengatasi pernikahan dini, pemerintah harus fokus pada dua aspek utama: peningkatan akses dan kualitas pendidikan, serta perubahan sosial budaya. Maya menekankan, “Pendidikan adalah kunci jangka panjang untuk mencegah pernikahan dini. Pemerintah perlu memastikan bahwa anak perempuan, khususnya di pedesaan, dapat melanjutkan sekolah sampai tingkat menengah atau perguruan tinggi dengan dukungan yang memadai.” Selain itu, menurut Maya, peran tokoh agama dan adat sangat penting untuk menyampaikan pesan perubahan kepada masyarakat.

“Tokoh agama dan pemimpin adat merupakan figur yang sangat dihormati dan dipercaya masyarakat. Jika mereka mengedukasi dan menyosialisasikan pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang tepat, ini akan mempercepat perubahan norma sosial,” kata Maya. Pendekatan ini juga harus didukung oleh kampanye edukasi yang luas melalui media massa dan jejaring sosial, agar informasi mengenai dampak negatif pernikahan dini dan pentingnya pendidikan bisa menjangkau semua lapisan masyarakat, terutama orang tua yang sering menjadi penentu utama keputusan pernikahan anak.

Yang menarik, penelitian ini juga menemukan bahwa faktor seperti status pekerjaan dan ekonomi keluarga tidak selalu berhubungan langsung dengan pernikahan dini. Hal ini berbeda dengan asumsi umum bahwa kemiskinan adalah penyebab utama. Maya menjelaskan, “Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya dan agama, faktor sosial dan budaya justru menjadi pendorong yang lebih kuat daripada ekonomi semata.”

Lebih jauh lagi, penelitian ini mengungkapkan bahwa usia pada saat melakukan hubungan seksual pertama kali juga terkait erat dengan kemungkinan menikah dini. Remaja yang melakukan hubungan seksual di usia 10–14 tahun memiliki risiko sangat tinggi untuk menikah muda. Ini mempertegas pentingnya pendidikan seksual dan akses informasi kesehatan reproduksi sebagai bagian dari upaya pencegahan.

Maya pun menutup dengan harapan besar, “Kami percaya bahwa dengan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan, kita bisa memperbaiki kondisi ini. Pendidikan yang berkualitas dan kesadaran sosial yang meningkat akan membuka jalan bagi generasi muda untuk keluar dari lingkaran pernikahan dini dan membangun masa depan yang lebih cerah.”

SDGsSDGs 3SDGs 5

Detail Paper

JurnalBMC Public Health
JudulEducation role in early marriage prevention: evidence from Indonesia’s rural areas
PenulisMaya Fitria (1), Agung Dwi Laksono (2), Isyatun Mardhiyah Syahri (1), Ratna Dwi Wulandari (3), Ratu Matahari (4), Yuly Astuti (2)
Afiliasi Penulis
  1. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Jalan Dr. T. Mansur No.9, Padang Bulan, Medan Baru, Medan, Sumatera Utara 20222, Indonesia
  2. Badan Riset dan Inovasi Nasional, Jakarta, Indonesia
  3. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
  4. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia

Fitur Aksesibilitas

  • Grayscale

  • High Contrast

  • Negative Contrast

  • Text to Speech

icon

Mengobrol dengan

Halo USU

Halo,
Dengan Layanan Bantuan USU
Ada yang bisa kami bantu hari ini?
- Admin