A11Y

HOME

MENU

CARI

Millennial Sumatera Utara: Menyatukan Keberagaman Lewat Kearifan Lokal dan Inovasi Digital

Diterbitkan Pada02 Juni 2025
Diterbitkan OlehDavid Kevin Handel Hutabarat
Millennial Sumatera Utara: Menyatukan Keberagaman Lewat Kearifan Lokal dan Inovasi Digital
Copy Link
IconIconIcon

Millennial Sumatera Utara: Menyatukan Keberagaman Lewat Kearifan Lokal dan Inovasi Digital

 

Diterbitkan oleh

David Kevin Handel Hutabarat

Diterbitkan pada

Senin, 02 Juni 2025

Logo
Download

Penelitian ini mengkaji dinamika sosial millennial di Sumatera Utara dan bagaimana kearifan lokal serta teknologi pendidikan menjadi solusi atas polarisasi sosial.

Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat kaya akan keberagaman etnis, budaya, dan agama. Namun, keberagaman ini juga menghadirkan tantangan serius, terutama dalam menjaga keharmonisan sosial di tengah meningkatnya polarisasi akibat politik identitas. Tantangan ini terasa nyata terutama pada millennial, yang saat ini menjadi kelompok demografis terbesar dan paling aktif di ranah digital. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Muryanto Amin dan Alwi Dahlan Ritonga, akademisi dari Universitas Sumatera Utara, mengungkapkan dinamika unik yang terjadi pada millennial di wilayah Sumatera Utara, serta bagaimana kearifan lokal dan inovasi pendidikan berbasis teknologi dapat menjadi modal utama menjaga persatuan dan kerukunan sosial.


Dalam pandangan Prof. Muryanto, millennial di Sumatera Utara menunjukkan karakter sosial yang berbeda dibandingkan dengan generasi sebayanya di daerah lain seperti Jawa. “Millennial di Sumatera Utara sangat melekat dengan organisasi kepemudaan dan komunitas sosial-politik. Mereka bangga mengenakan seragam organisasi, yang menjadi simbol identitas dan solidaritas sosial mereka,” ujar Prof. Muryanto. Tidak hanya itu, millennial ini juga memiliki tempat berkumpul yang disebut “basecamp”, yang menjadi pusat aktivitas sosial dan diskusi mereka. Pola ini berbanding terbalik dengan millennial di Jawa yang lebih cenderung bersifat mandiri dan bergabung dalam komunitas berdasarkan hobi atau profesi tanpa keterikatan fisik yang ketat.


Kearifan lokal menjadi salah satu fondasi penting dalam menjaga keharmonisan di tengah masyarakat yang sangat plural di Sumatera Utara. Prof. Muryanto menyoroti filosofi Dalihan Na Tolu sebagai contoh nilai budaya yang berperan sangat strategis. Dalihan Na Tolu, warisan budaya Batak Toba, menekankan prinsip saling menghormati dan keseimbangan sosial antara berbagai kelompok dalam masyarakat. “Filosofi ini mengajarkan kita bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan sebuah kekuatan yang harus dihargai dan dirawat bersama,” jelas Prof. Muryanto. Selain Dalihan Na Tolu, nilai gotong royong dan musyawarah juga menjadi pilar utama yang menguatkan solidaritas dan meredam potensi konflik yang muncul akibat perbedaan.


Di era digital yang berkembang pesat, tantangan bagi millennial adalah bagaimana menghadapi derasnya arus informasi, termasuk penyebaran politik identitas yang sering memecah belah. Prof. Muryanto berpendapat bahwa kearifan lokal harus diintegrasikan dengan teknologi modern melalui model pendidikan inovatif yang mampu menjangkau dan mengedukasi generasi muda secara efektif. Ia mengusulkan pembelajaran berbasis aplikasi digital interaktif yang menyajikan materi tentang wawasan kebangsaan, multikulturalisme, ancaman radikalisme, dan politik identitas secara menarik dan mudah dipahami.


Menurut Prof. Muryanto, “Pendidikan yang kreatif, visual, dan sesuai dengan gaya hidup millennial sangat penting agar mereka tidak mudah terprovokasi oleh narasi politik identitas yang memecah-belah masyarakat.” Literasi digital menjadi kunci agar millennial mampu memilah informasi secara kritis dan aktif berkontribusi dalam dialog sosial yang konstruktif.


Namun, Prof. Muryanto juga mengakui adanya resistensi dari sebagian millennial yang merasa nilai-nilai tradisional kurang relevan dengan gaya hidup modern yang serba cepat dan berbasis digital. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa model pendidikan harus adaptif dan mampu menjembatani antara nilai-nilai lama dengan realitas dan kebutuhan masa kini.


Lebih jauh, penelitian ini menemukan bahwa karakter millennial di Sumatera Utara juga dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, dan jenis kelamin. Millennial yang lebih muda (usia 20–29 tahun) cenderung lebih terbuka terhadap teknologi dan ide baru, tetapi lebih mudah terpengaruh oleh isu-isu politik secara instan dan reaktif. Sebaliknya, millennial yang lebih tua (30–40 tahun) menunjukkan sikap yang lebih stabil, kritis, dan religius. Perempuan millennial cenderung lebih kritis terhadap isi konten digital dan aktif dalam organisasi sosial yang inklusif, sementara laki-laki lebih menonjolkan solidaritas kelompok dan terkadang lebih rentan terhadap politik identitas.


Dari analisis tersebut, Prof. Muryanto menyimpulkan bahwa keberagaman yang tinggi di Sumatera Utara sebetulnya merupakan kekayaan yang besar, jika dikelola dengan tepat. Ia menggarisbawahi pentingnya peran millennial sebagai agen perubahan sosial yang dapat memperkuat persatuan bangsa. Kunci keberhasilan adalah pendidikan yang mampu membekali mereka dengan wawasan kebangsaan, keterampilan literasi digital, dan nilai-nilai kearifan lokal yang relevan.


Penelitian Prof. Muryanto juga menunjukkan bahwa, meskipun digitalisasi memberikan peluang besar, transformasi dari digital consumer menjadi digital maker masih menjadi tantangan. Millennial Sumatera Utara perlu diberdayakan agar tidak hanya menjadi pengguna pasif teknologi, tetapi juga mampu menciptakan konten dan solusi digital yang inovatif dan bernilai ekonomi.


Di tengah situasi politik Indonesia yang kerap memanfaatkan isu identitas untuk meraih dukungan, pendidikan yang menanamkan nasionalisme inklusif dan pemahaman multikulturalisme adalah langkah preventif yang efektif. Prof. Muryanto menegaskan bahwa millennial yang teredukasi dengan baik memiliki potensi besar untuk menjadi penjaga harmoni dan pelopor kemajuan sosial.


Dengan pendekatan yang menggabungkan kearifan lokal, teknologi digital, dan model pendidikan inovatif, Sumatera Utara memberikan contoh inspiratif bagaimana pluralitas tidak menjadi penghalang, melainkan modal untuk memperkuat persatuan dan kemajuan bangsa. Millennial di provinsi ini, jika didukung secara optimal, dapat menjadi generasi yang tidak hanya melek digital, tetapi juga memiliki kecerdasan sosial dan budaya yang kuat, mampu membawa Indonesia maju dalam keberagaman.

SDGs 4SDGs

Detail Paper

JurnalSocieties
JudulDiversity, Local Wisdom, and Unique Characteristics of Millennial as Capital for Innovative Learning Models: Evidence from North Sumatra, Indonesia
PenulisProf. Muryanto Amin , Alwi Dahlan Ritonga
Afiliasi Penulis
  1. Program Studi Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan 20111, Indonesia

Fitur Aksesibilitas

  • Grayscale

  • High Contrast

  • Negative Contrast

  • Text to Speech

icon

Mengobrol dengan

Halo USU

Halo,
Dengan Layanan Bantuan USU
Ada yang bisa kami bantu hari ini?
- Admin