Membaca Ulang Perilaku Konsumen dan Pola Pemborosan Pangan

Membaca Ulang Perilaku Konsumen dan Pola Pemborosan Pangan
Diterbitkan oleh
David Kevin Handel Hutabarat
Diterbitkan pada
Selasa, 09 Desember 2025

Artikel ini mengulas riset meta-analisis Why We Waste yang memetakan faktor psikologis, sosial, dan kebiasaan yang memengaruhi pemborosan pangan di tingkat rumah tangga. Studi ini menekankan pentingnya pendekatan behavioral sustainability untuk merancang intervensi konsumsi yang lebih efektif dan relevan secara global maupun nasional.
Artikel ilmiah Why We Waste, yang ditulis oleh I. Sjahrial, M. Khaliqi, A. Harahap, M. I. Nasution, dan R. Syahputra, hadir sebagai salah satu kajian komprehensif yang mengulas perilaku pemborosan pangan (food waste) dari perspektif psikologi dan perilaku konsumen. Di tengah meningkatnya kekhawatiran dunia terhadap isu ketahanan pangan, keberlanjutan lingkungan, dan pola konsumsi modern, penelitian ini memberikan kontribusi signifikan pada literatur ilmiah global. Dari jajaran penulis tersebut, Muhammad Khaliqi menonjol melalui perannya dalam menyusun kerangka meta-analisis, mengorganisasi data lintas studi, serta merumuskan interpretasi akademik yang menghubungkan temuan empirik dengan teori perilaku kontemporer.
Sebagai peneliti muda dengan minat pada consumer behavior dan behavioral sustainability, Khaliqi memusatkan perhatiannya pada struktur perilaku manusia yang melatarbelakangi pemborosan makanan. Food waste bukan sekadar konsekuensi ekonomi rumah tangga; ia merupakan ekspresi kompleks dari interaksi kebiasaan, emosi, nilai sosial, hingga perubahan gaya hidup. Khaliqi berfokus pada pemetaan pola-pola perilaku tersebut melalui pendekatan meta-riset, yaitu integrasi sistematis terhadap puluhan penelitian lintas negara untuk menghasilkan gambaran yang lebih utuh.
Riset Why We Waste dimulai dengan penelusuran literatur mendalam yang menghasilkan 57 set data perilaku dari berbagai publikasi ilmiah global. Setiap entri diekstraksi, dikodekan, dan dianalisis untuk mengidentifikasi variabel yang konsisten muncul dalam penelitian food waste di tingkat rumah tangga. Proses ini membutuhkan ketelitian tinggi, terutama dalam penyamaan definisi variabel, pengukuran indikator perilaku, serta klasifikasi faktor-faktor psikologis dan sosial yang berkontribusi pada pemborosan pangan.
Dari proses tersebut, tim kemudian merumuskan enam kategori utama yang memengaruhi food waste:
1. Faktor demografis,
2. Emosi dan kepribadian,
3. Pengetahuan dan kesadaran,
4. Perilaku dan kebiasaan,
5. Sikap dan persepsi,
6. Norma sosial dan lingkungan.
Kontribusi intelektual Khaliqi tampak kuat pada proses penyusunan model kategorisasi ini. Ia memimpin proses pengelompokan variabel berdasarkan kerangka teori psikologi konsumsi, memastikan bahwa klasifikasi tersebut tidak hanya sistematis tetapi juga relevan bagi penelitian lintas disiplin. Dengan pendekatan tersebut, riset ini tidak hanya memetakan faktor penyebab pemborosan pangan, tetapi juga membangun jembatan teoritis yang menghubungkan temuan empiris dengan konsep-konsep kunci perilaku manusia.
Dari enam kategori tersebut, temuan yang dianggap paling dominan adalah kategori perilaku dan kebiasaan (behavioral patterns). Melalui proses konfirmasi data lintas studi, Khaliqi dan tim menunjukkan bahwa pemborosan makanan lebih banyak dipicu oleh keputusan kecil yang berulang—misalnya membeli makanan karena promosi, memasak terlalu banyak, atau menyimpan makanan tanpa perencanaan. Temuan ini sejalan dengan literatur psikologi modern yang menekankan bahwa tindakan sehari-hari lebih banyak ditentukan oleh kebiasaan daripada oleh proses kognitif rasional.
Kontribusi lain yang penting adalah analisis terhadap kategori emosi dan kepribadian, yang memperlihatkan bahwa faktor-faktor psikologis seperti impulsivitas, hedonic motivations, dan pencarian variasi memiliki korelasi kuat dengan tingginya food waste. Individu yang menjadikan makanan sebagai medium ekspresi diri atau sebagai simbol kenyamanan emosional terbukti lebih rentan membuang makanan. Di sisi lain, individu dengan orientasi lingkungan (eco-centric personality) atau kesadaran sosial tinggi menunjukkan kecenderungan lebih kecil dalam menghasilkan sampah makanan.
Dalam riset tersebut, Khaliqi menggarisbawahi bahwa pemahaman psikologis semacam ini sangat krusial. Selama ini sebagian besar intervensi food waste bersandar pada pendekatan edukatif tradisional—misalnya kampanye moral mengenai pentingnya menghabiskan makanan. Namun, riset ini menunjukkan bahwa kampanye tersebut tidak cukup efektif jika tidak memperhitungkan faktor perilaku terdalam seperti struktur kebiasaan, citra diri, dan norma sosial. Dalam konteks ini, temuan Khaliqi dapat menjadi dasar pengembangan behavioral interventions yang lebih terarah, seperti desain ulang kemasan, pengaturan ulang ukuran porsi, sistem pengingat digital untuk isi kulkas, atau program edukasi berbasis nudging.
Selain membangun pemahaman teoritis, riset ini memberikan kontribusi metodologis melalui proses meta-analisis yang ketat. Khaliqi terlibat langsung dalam penyamaan metodologi antar penelitian yang memiliki definisi, instrumen, dan skala pengukuran berbeda. Tantangan utama adalah memastikan bahwa data yang dibandingkan benar-benar sebanding, sehingga pola yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Konsistensi inilah yang membuat Why We Waste menjadi salah satu referensi akademik penting bagi peneliti yang ingin mengembangkan model perilaku konsumsi berkelanjutan.
Khaliqi juga memberikan perhatian khusus pada relevansi temuan meta-riset ini bagi Indonesia. Dengan meningkatnya pendapatan per kapita, perubahan gaya hidup urban, dan berkembangnya budaya konsumtif di kalangan muda, Indonesia berpotensi mengalami tren food waste yang semakin meningkat. Namun, literatur ilmiah lokal masih relatif terbatas. Oleh karena itu, riset ini berfungsi sebagai kerangka konseptual yang dapat menjadi rujukan awal bagi peneliti tanah air yang ingin mengkaji dinamika food waste dalam konteks domestik. Riset ini membuka peluang eksplorasi lebih lanjut, mulai dari studi perilaku rumah tangga perkotaan, preferensi kuliner, sampai evaluasi kebijakan pengelolaan sampah.
Dalam lingkup yang lebih luas, kontribusi Khaliqi dapat dilihat sebagai upaya memperkuat peran akademisi muda dalam diskusi global mengenai keberlanjutan. Dengan sistematika yang ketat dan kemampuan menghubungkan temuan empiris dengan kebutuhan kajian kontemporer, ia mendorong riset food waste ke arah yang lebih multidimensional. Pendekatannya menempatkan manusia sebagai pusat analisis—mengakui bahwa keputusan konsumsi selalu dipengaruhi oleh faktor psikologis, sosial, dan budaya yang tidak dapat diabaikan.
Selain itu, hasil riset ini dapat menjadi referensi praktis bagi pembuat kebijakan. Misalnya, temuan mengenai peran norma sosial dapat digunakan untuk merancang kampanye publik yang mempromosikan perilaku konsumsi bertanggung jawab. Sementara temuan mengenai impulsivitas dan hedonic decision-making dapat menjadi masukan bagi sektor ritel dan kuliner untuk memperhatikan desain pemasaran yang tidak mendorong pembelian berlebihan. Dengan demikian, riset ini menawarkan nilai strategis lintas sektor: akademik, pemerintah, industri pangan, dan organisasi lingkungan.
Di ruang akademik, kontribusi Khaliqi mencerminkan kapasitasnya sebagai peneliti emerging yang memahami pentingnya integrasi disiplin dalam mengurai masalah kompleks. Ia menggabungkan prinsip behavioral science, ilmu konsumsi, statistik meta-analisis, dan teori keberlanjutan dalam satu kerangka riset yang solid. Pendekatan multidisipliner semacam ini semakin penting dalam menghadapi tantangan global seperti food waste, perubahan iklim, dan konsumsi berlebih.
Melalui penelitian Why We Waste, Khaliqi tidak hanya memperkaya literatur ilmiah, tetapi juga memberikan arah baru bagi penelitian lanjutan di USU dan Indonesia. Riset ini menjadi fondasi awal untuk membangun pemahaman lebih dalam mengenai perilaku konsumsi masyarakat, serta membuka jalan bagi intervensi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).
Pada akhirnya, kontribusi akademik Muhammad Khaliqi mencerminkan kualitas generasi baru ilmuwan Indonesia—peneliti yang tidak sekadar mengamati fenomena, tetapi mampu menafsirkan pola, menghubungkan teori, dan menghadirkan solusi konseptual yang relevan bagi tantangan global.