Membaca Jejak Malaria “Tak Terlihat” di Langkat Lewat Antibodi

Membaca Jejak Malaria “Tak Terlihat” di Langkat Lewat Antibodi
Diterbitkan oleh
David Kevin Handel Hutabarat
Diterbitkan pada
Senin, 08 Desember 2025

Penelitian ini menunjukkan bahwa serologi dapat mengungkap penularan malaria tersembunyi yang tidak terdeteksi oleh metode diagnostik rutin di Langkat. Dengan membaca antibodi masyarakat, studi ini menemukan bahwa P. falciparum dan P. vivax masih beredar dengan tingkat paparan sekitar 20% meski kasus klinis rendah.
Di banyak peta resmi, malaria di Indonesia tampak seolah mulai mundur. Angka kasus turun drastis dalam satu dekade terakhir, dan Indonesia menargetkan eliminasi malaria pada 2030. Tapi di balik data yang tampak menggembirakan itu, masih ada satu pertanyaan penting: apakah penularan malaria benar-benar berhenti, atau hanya tidak tertangkap oleh cara deteksi biasa?
Pertanyaan inilah yang digarap oleh dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis, Sp.A(K), Ph.D, dosen Fakultas Kedokteran USU, bersama tim lintas negara dalam artikel ilmiah berjudul:
“Serology reveals comparable patterns in the transmission intensities of Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax in Langkat district, North Sumatera Province, Indonesia” yang terbit di jurnal Frontiers in Cellular and Infection Microbiology tahun 2025.
Bersama Irbah Rea Alvieda Nainggolan, Meliani, Beby Syofiani Hasibuan, Kumuthamalar Sangaran, Luqman Samsudin, Sriwipa Chuangchaiya, Paul Cliff Simon Divis, Ranti Permatasari, dan Zulkarnain Md Idris, Inke mengajukan pendekatan yang berbeda: alih-alih hanya menghitung parasit di darah, mereka membaca “memori imun” masyarakat melalui antibodi.
Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Langkat, daerah yang kini masuk kategori near elimination namun sebelumnya dikenal sebagai wilayah malaria dengan banyak spesies parasit—termasuk Plasmodium knowlesi yang bersifat zoonosis.
Tim melakukan survei potong lintang pada Juni 2019. Sebanyak 339 penduduk dari berbagai kelompok umur ikut serta. Mereka tidak harus sedang sakit. Justru sebaliknya: penelitian ini ingin menangkap riwayat paparan malaria, bukan hanya infeksi akut.
Di pos survei, warga mengisi kuesioner singkat tentang usia, pekerjaan, kebiasaan tidur, penggunaan kelambu, hingga apakah mereka pernah bermalam di hutan. Setelah itu, tim mengambil darah ujung jari dan meneteskannya ke kertas saring khusus. Titik-titik darah kering inilah yang kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis sebagai sumber antibodi.
Pendekatan ini terlihat sederhana, tetapi di baliknya ada teknologi serologi dan analisis statistik yang cukup kompleks.
Di laboratorium, tim yang dipimpin Inke mengukur antibodi IgG terhadap empat antigen malaria tahap darah: dua milik Plasmodium falciparum (PfAMA-1 dan PfMSP-119) dan dua milik Plasmodium vivax (PvAMA-1 dan PvMSP-119).
Keempat antigen ini dipilih karena mewakili fase eritrositik (fase yang menimbulkan gejala), sudah lama digunakan sebagai penanda paparan di berbagai studi, serta relatif stabil sehingga cocok untuk memotret paparan jangka menengah–panjang, bukan hanya infeksi beberapa hari terakhir.
Dari sisi metodologi, tim menggunakan teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) dan standar analisis yang ketat. Nilai optikal (OD) dinormalisasi terhadap kontrol positif, lalu diolah dengan model statistik finite mixture untuk menentukan batas seropositif—sebuah prosedur yang memastikan bahwa yang disebut “pernah terpapar” benar-benar memiliki respon antibodi yang bermakna.
Secara kasatmata, angka malaria di Langkat memang sudah rendah. Studi sebelumnya mencatat hanya 0,3% infeksi mikroskopis dan 0,9% infeksi submikroskopis di masyarakat.
Namun, ketika Inke dan tim melihat antibodi, gambarnya berbeda:
• Seroprevalensi PfAMA-1: 10,6%
• PfMSP-119: 13%
• PvAMA-1: 18,6%
• PvMSP-119: 7,4%
Jika digabung, 20,7% penduduk pernah terpapar P. falciparum dan 20,7% juga pernah terpapar P. vivax – angka yang hampir identik.
Artinya, meskipun kasus klinis yang tercatat sedikit, sekitar satu dari lima orang di Langkat menyimpan jejak paparan malaria dalam sistem imunnya. Ini adalah sinyal penting bagi program eliminasi: penularan belum hilang, hanya menjadi lebih senyap.
Tim kemudian menggunakan model katalitik reversibel untuk menghitung seroconversion rate (SCR)—peluang seseorang menjadi seropositif per tahun. Hasilnya menunjukkan kecenderungan penularan P. falciparum sedikit lebih tinggi dibanding P. vivax, meski interval kepercayaannya saling tumpang tindih.
Bagi pembuat kebijakan, angka-angka ini jauh lebih informatif dibanding sekadar “jumlah kasus per tahun”, karena menggambarkan paparan kumulatif lintas usia.
Salah satu temuan praktis yang cukup kuat adalah faktor risiko “bermalam di hutan”. Dalam analisis regresi logistik multivariat, hanya variabel ini yang berhubungan signifikan dengan seropositivitas P. vivax—dengan adjusted odds ratio sekitar 3,93. Artinya, orang yang dalam dua minggu terakhir pernah bermalam di hutan memiliki kemungkinan hampir empat kali lipat pernah terpapar P. vivax dibanding yang tidak.
Temuan ini konsisten dengan ekologi vektor: beberapa nyamuk penular P. vivax di Sumatra (misalnya Anopheles kochi) cenderung menggigit di luar ruangan, dekat area hutan, pada malam hari. Kondisi ini membuat kelompok pekerja hutan, petani kebun, maupun masyarakat yang rutin beraktivitas di tepian hutan menjadi kunci dalam strategi eliminasi.
Di sisi lain, tidak ada faktor demografis atau perilaku yang secara signifikan terkait dengan seropositif P. falciparum dalam model yang disesuaikan. Ini mengindikasikan bahwa penularan P. falciparum lebih tersebar merata di populasi, atau intensitasnya sudah sangat rendah sehingga pola risikonya sulit dipetakan lebih rinci.
Dalam bagian author contributions, Inke tercatat memegang peran sentral: konseptualisasi, pengambilan data, analisis formal, pengelolaan proyek, pendanaan, supervisi, hingga penulisan draf awal dan penyuntingan akhir.
Posisi ini menempatkannya sebagai figur penting dalam merancang bagaimana serologi bisa digunakan untuk membaca pola penularan malaria di wilayah near elimination, menyinergikan jejaring kolaborasi antara FK USU dengan institusi di Malaysia dan Thailand, dan memastikan analisis statistik tidak hanya benar secara teknis, tetapi juga relevan untuk kebijakan kesehatan masyarakat.
Bagi Fakultas Kedokteran USU, keberadaan peneliti seperti Inke menunjukkan bahwa riset kita sudah bergerak ke level “analisis epidemiologi canggih”, tidak lagi sebatas melaporkan jumlah kasus atau hasil mikroskop. Pendekatan serologi yang ia gunakan membuka peluang bagi surveilans malaria yang lebih sensitif di daerah dengan kasus rendah, identifikasi kantong risiko (seperti komunitas yang sering bermalam di hutan), dan evaluasi dampak intervensi (misalnya distribusi kelambu atau pengendalian vektor) secara lebih halus dan jangka panjang.
Di tingkat nasional, Indonesia sedang berada di fase krusial menuju target eliminasi malaria 2030. Dalam fase ini, tantangannya justru bukan lagi “mengurangi kasus”, tetapi “tidak kecolongan penularan tersembunyi”.
Penelitian Inke dan kolaboratornya memberi beberapa pesan penting seperti Serologi perlu dilirik sebagai alat rutin pendukung eliminasi, terutama di wilayah dengan kasus klinis sangat rendah. P. falciparum dan P. vivax sama-sama masih beredar di masyarakat, sehingga strategi eliminasi tidak boleh hanya fokus pada satu spesies. Kelompok forest-goers harus menjadi sasaran khusus program pencegahan dan edukasi, karena mereka menyimpan risiko paparan P. vivax yang lebih tinggi. Bagi USU, artikel ini juga menguatkan posisi kampus sebagai mitra ilmiah strategis dalam isu kesehatan global, khususnya malaria di kawasan Asia Tenggara.
Detail Paper
- Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
- Department of Parasitology and Medical Entomology, Faculty of Medicine, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia
- National Public Health Laboratory, Ministry of Health, Sungai Buloh, Selangor, Malaysia
- Vector-Borne Disease Unit, Lipis District Health Office, Kuala Lipis, Pahang, Malaysia
- Department of Community Health, Faculty of Public Health, Kasetsart University, Sakon Nakhon, Thailand
- Malaria Research Centre, Faculty of Medicine and Health Sciences, Universiti Malaysia Sarawak, Kota Samarahan, Sarawak, Malaysia