A11Y

HOME

MENU

CARI

Ketika Bahasa Menghilang Perlahan: Kisah Afasia Progresif dan Stroke dalam Konteks Bahasa Indonesia

Diterbitkan Pada08 Desember 2025
Diterbitkan OlehDavid Kevin Handel Hutabarat
Ketika Bahasa Menghilang Perlahan: Kisah Afasia Progresif dan Stroke dalam Konteks Bahasa Indonesia
Copy Link
IconIconIcon

Ketika Bahasa Menghilang Perlahan: Kisah Afasia Progresif dan Stroke dalam Konteks Bahasa Indonesia

 

Diterbitkan oleh

David Kevin Handel Hutabarat

Diterbitkan pada

Senin, 08 Desember 2025

Logo
Download

Artikel ini menguraikan perbedaan mendasar antara afasia progresif primer dan afasia akibat stroke, serta bagaimana ciri linguistik bahasa Indonesia memengaruhi gejala dan diagnosis keduanya. Penelitian menegaskan perlunya pendekatan neurolinguistik berbasis lokal, terutama bagi pasien bilingual yang menunjukkan pola kehilangan bahasa yang unik.

Bahasa adalah rumah bagi pikiran manusia. Melaluinya, seseorang menciptakan makna, mengenang masa lalu, dan menjalin hubungan dengan dunia di sekitarnya. Tapi bagaimana jika rumah itu perlahan retak dari dalam, karena otak tak lagi mampu menemukan kata? Di sinilah kisah tentang afasia dimulai, dan di antara segala bentuknya, dua yang paling kontras adalah afasia progresif primer (Primary Progressive Aphasia / PPA) dan afasia akibat stroke.


Penelitian naratif terbaru oleh tim ahli bahasa dan neurologi kolaborasi antara peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Universitas Indonesia yakni Fasihah Irfani Fitri, Aldy Safruddin Rambe, Elmeida Effendy, Alfansuri Kadri, Pukovisa Prawiroharjo,   Inke Nadia Diniyanti Lubis, Khairul Putra Surbakti, Mustafa Mahmud Amin, Muhammad Rusda dan Gustianingsih. Di balik istilah medis yang terdengar asing, ada persoalan linguistik yang sangat dekat dengan kita. Seperti bagaimana struktur bahasa, pilihan kata, dan bahkan kebiasaan berbahasa sehari-hari dapat memengaruhi cara seseorang kehilangan kemampuan berbahasa.


Afasia progresif primer berbeda dari kebanyakan penyakit otak lain. ‘Dia’ bukan datang tiba-tiba seperti stroke, melainkan perlahan, halus, dan sering kali tak disadari. Penderita PPA bisa berbicara lancar hari ini, lalu mulai lupa satu kata besok, dan setahun kemudian kehilangan kemampuan merangkai kalimat utuh. Memori mereka tetap tajam, logika berjalan normal, tapi kemampuan berbahasa pelan-pelan memudar. Sementara itu, afasia akibat stroke biasanya terjadi mendadak dalam satu hari. Seseorang bisa kehilangan kemampuan bicara karena aliran darah ke otak terhenti. Namun, karena otaknya tidak mengalami degenerasi progresif, terapi dapat membantu sebagian kemampuan itu kembali.


“Inilah kenapa penelitian begini menjadi penting. Selama ini, hampir semua instrumen diagnosis afasia yang digunakan di Indonesia berasal dari luar negeri. Disusun nya pun dalam bahasa Inggris dengan struktur tata bahasa dan sistem morfologi yang sangat berbeda dari bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia memiliki ciri khas yang memengaruhi cara afasia muncul. Struktur kalimatnya sederhana, bunyinya fonetik, dan banyak menggunakan imbuhan yang fleksibel,” jelas Fasihah


Mari kita lihat pada penderita stroke di negara berbahasa Inggris sering kehilangan kata benda atau preposisi. Tapi dalam bahasa Indonesia, mereka justru cenderung kesulitan menempatkan imbuhan seperti “me-” atau “ber-”. Sementara pada kasus PPA, pasien mungkin masih bisa berbicara lancar, tapi mulai kehilangan kemampuan memahami makna imbuhan atau membedakan kata kerja aktif dan pasif. Pola-pola ini membuat diagnosa di Indonesia tidak bisa begitu saja meniru metode Barat. Melainkan ia butuh lensa linguistik lokal.


“Kami ya, menyusun kajian ini menyadari bahwa di negara multibahasa seperti Indonesia, persoalan menjadi lebih kompleks. Banyak pasien berbicara dalam dua atau tiga bahasa sehari-hari misalnya, bahasa Batak di rumah, Indonesia di sekolah, dan Inggris di pekerjaan. Saat afasia muncul, bahasa mana yang hilang duluan? Bahasa mana yang lebih mudah pulih? Pertanyaan ini bukan hanya medis, tetapi juga sosial dan kultural,” imbuh Aldi


Penelitian ini menegaskan bahwa profil kebahasaan masyarakat Indonesia harus menjadi bagian dari pendekatan diagnosis dan terapi. Terlalu sering pasien disalahpahami karena dianggap “tidak kooperatif” atau “sulit diajak komunikasi,” padahal sistem bahasanya sendiri sedang berantakan. Itulah sebabnya para ahli mengusulkan pendekatan baru yang menggabungkan neurolinguistik, sosiolinguistik, dan budaya lokal. Pendekatan ini menempatkan bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga cermin identitas.


Dalam konteks klinis, penelitian ini juga membuka wawasan baru bagi terapi bahasa. Pada pasien stroke, misalnya, terapi berbasis melodic intonation yang mengajarkan kembali bahasa melalui ritme dan nyanyian terbukti efektif karena bahasa Indonesia memiliki pola intonasi yang ritmis dan melodis. Sementara untuk penderita PPA, terapi perlu lebih personal dan berbasis konteks sosial, misalnya dengan melatih pasien menggunakan kata-kata yang sering muncul dalam percakapan keluarga atau aktivitas harian.


Menariknya, dalam temuan awal para peneliti menemukan bahwa pasien bilingual di Indonesia terkadang mempertahankan kemampuan bahasa daerah lebih lama daripada bahasa Indonesia. Diduga, karena bahasa daerah dipelajari sejak kecil dan melekat secara emosional, sementara bahasa Indonesia lebih “dipelajari” secara formal di sekolah. Fenomena ini memberi bukti kuat bahwa memori emosional memainkan peran penting dalam bertahannya kemampuan berbahasa.


Riset semacam ini membawa napas baru bagi dunia ilmu komunikasi dan linguistik di tanah air. Ia menempatkan Indonesia bukan hanya sebagai objek penelitian global, tetapi juga sebagai laboratorium alami yang unik. Apalagi pada negara dengan ratusan bahasa dan dialek, setiap kasus afasia adalah cerita berbeda dan hanya melalui pemahaman lokal kita bisa memberikan penanganan yang tepat.


Dalam penutup kajiannya, para peneliti menulis bahwa memahami afasia berarti memahami hubungan paling dalam antara otak dan bahasa. Ketika seseorang kehilangan kemampuan berbicara, yang hilang bukan hanya kata, tetapi juga sebagian dari cara ia memahami dunia. Hal ini menjadi latar belakang kuat bahwa penelitian tentang afasia tidak hanya milik dokter atau ahli saraf, tetapi juga milik para linguis, psikolog, dan pendidik bahasa.


“Kami menyerukan agar Indonesia mulai mengembangkan alat diagnostik dan terapi afasia berbasis bahasa lokal, yang mempertimbangkan ciri khas fonologi dan morfologi Indonesia. Dengan begitu, pasien tidak lagi diuji dengan instrumen yang asing bagi mereka. Harapannya, terapi bahasa di masa depan bisa lebih inklusif, efektif, dan manusiawi. Bukan sekadar memulihkan ucapan, tetapi mengembalikan kemampuan untuk merasa terhubung dengan dunia.” tutup Fasihah penuh harap.


Akhirnya, kisah tentang afasia bukan hanya tentang kehilangan bahasa, tetapi tentang perjuangan manusia untuk mempertahankan identitasnya. Di ruang-ruang terapi, di antara jeda kalimat yang tak selesai, ada usaha kecil yang luar biasa. Seseorang mencoba menemukan kembali suaranya, dan para peneliti berupaya memberi mereka peta baru untuk kembali ke rumah bahasa yang pernah mereka miliki.

SDGsSDGs 3

Detail Paper

JurnalCurrent Behavioral Neuroscience Reports
JudulA Narrative Review of Primary Progressive Aphasia and Stroke Aphasia: Clinical and Linguistic Perspectives in the Indonesian Context
PenulisFasihah Irfani Fitri (1,6), Aldy Safruddin Rambe (1), Elmeida Effendy (2), Alfansuri Kadri (1), Pukovisa Prawiroharjo (1), Inke Nadia Diniyanti Lubis (3), Khairul Putra Surbakti (1), Mustafa Mahmud Amin (2,6), Muhammad Rusda (4,6), Gustianingsih (5)
Afiliasi Penulis
  1. Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
  2. Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
  3. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
  4. Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
  5. Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
  6. Program Doktor Ilmu Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

Fitur Aksesibilitas

  • Grayscale

  • High Contrast

  • Negative Contrast

  • Text to Speech

icon

Mengobrol dengan

Halo USU

Halo,
Dengan Layanan Bantuan USU
Ada yang bisa kami bantu hari ini?
- Admin