A11Y

HOME

MENU

CARI

Eliminasi Malaria: Serologi sebagai Kunci Pengendalian di Langkat

Diterbitkan Pada09 April 2025
Diterbitkan Olehdr. Inke Nadia Diniyanti Lubis M.Ked(Ped)., Sp.A, Ph.D
Eliminasi Malaria: Serologi sebagai Kunci Pengendalian di Langkat
Copy Link
IconIconIcon

Eliminasi Malaria: Serologi sebagai Kunci Pengendalian di Langkat

 

Diterbitkan oleh

dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis M.Ked(Ped)., Sp.A, Ph.D

Diterbitkan pada

Rabu, 09 April 2025

Logo
Download

Studi serologi di Langkat, Sumatera Utara, mengungkap pola transmisi malaria dari Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax, serta faktor risiko seperti aktivitas di hutan. Penelitian ini mendukung strategi eliminasi malaria Indonesia 2030 dengan pendekatan berbasis data.

Malaria telah menjadi salah satu penyakit menular yang paling lama menjadi perhatian dunia, khususnya di negara-negara tropis seperti Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles dan telah menyebabkan banyak kerugian, baik dalam hal nyawa manusia maupun sumber daya yang dikeluarkan untuk penanganannya. Di Indonesia, meskipun angka kasus malaria terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, tantangan besar masih ada, terutama di daerah-daerah yang menjadi zona transmisi tinggi. Namun, dengan target eliminasi malaria pada tahun 2030, pemerintah Indonesia semakin fokus pada pendekatan yang lebih strategis dan berbasis data untuk mengendalikan penyakit ini. Salah satu alat yang kini semakin sering digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah serologi.

 

Serologi merupakan teknik yang digunakan untuk mengukur respons antibodi tubuh terhadap infeksi parasit malaria. Setiap kali seseorang terpapar Plasmodium, tubuh akan memproduksi antibodi sebagai respons terhadap infeksi tersebut. Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengetahui seberapa banyak orang yang sudah pernah terpapar malaria, bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala. Pendekatan ini sangat berguna, terutama di daerah dengan tingkat transmisi rendah, di mana banyak orang mungkin sudah terinfeksi tanpa menyadari atau tanpa menunjukkan tanda-tanda penyakit.

 

Salah satu daerah yang menarik untuk diteliti dalam konteks pengendalian malaria adalah Langkat, yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Langkat merupakan salah satu daerah yang menunjukkan penurunan signifikan dalam jumlah kasus malaria, namun upaya eliminasi malaria di daerah ini masih menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah bagaimana memahami lebih dalam tentang pola transmisi Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax, dua spesies utama yang menyebabkan malaria di Indonesia. Oleh karena itu, sebuah penelitian serologi dilakukan pada tahun 2019 di Langkat untuk mengeksplorasi seberapa besar dampak kedua spesies malaria ini terhadap masyarakat setempat. Penelitian dilakukan oleh Inke Nadia Diniyanti Lubis, Irbah Rea Alvieda Nainggolan, Meliani Meliani, Beby Syofiani Hasibuan, Ranti Permatasari dari Universitas Sumatera Utara Indonesia, Kumuthamalar Sangaran dan Zulkarnain Md Idris dari Universitas Kebangsaan Malaysia, Luqman Samsudin dari District Health Office Malaysia, Sriwipa Chuangchaiya dari Kasetsart University Thailand, Paul Cliff Simon Divis dari Universiti Malaysia Sarawak Malaysia. 

 

Penelitian ini melibatkan 339 partisipan yang diuji untuk mengukur respons antibodi terhadap empat antigen spesifik dari P. falciparum dan P. vivax. Dua antigen yang digunakan untuk P. falciparum adalah PfAMA-1 dan PfMSP-119, sedangkan untuk P. vivax, antigen yang digunakan adalah PvAMA-1 dan PvMSP-119. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) digunakan untuk mengukur tingkat antibodi dalam darah, yang memberikan indikasi apakah seseorang telah terpapar parasit malaria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seroprevalensi malaria di Langkat cukup tinggi, meskipun sudah berada pada tahap rendah transmisi. Seroprevalensi untuk PfAMA-1 adalah 10,6%, PfMSP-119 13%, PvAMA-1 18,6%, dan PvMSP-119 7,4%. Meskipun angka seroprevalensi ini tidak terbilang tinggi, ini menunjukkan bahwa transmisi malaria masih ada di daerah tersebut, meskipun sudah berada dalam tahap pengendalian yang lebih baik.

 

Namun, hasil yang lebih menarik dari penelitian ini adalah penemuan tentang intensitas transmisi dari kedua spesies parasit. Berdasarkan analisis serokonversi, terlihat bahwa tingkat transmisi P. falciparum sedikit lebih tinggi dibandingkan P. vivax, meskipun perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. Ini menunjukkan bahwa meskipun P. falciparum sering dianggap lebih berbahaya karena menyebabkan malaria berat dan kematian, P. vivax juga memiliki potensi transmisi yang signifikan dan perlu mendapat perhatian yang setara dalam strategi pengendalian malaria.

 

”Penelitian ini juga mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan transmisi malaria di Langkat. Salah satu faktor risiko yang sangat mencolok adalah tinggal atau bekerja di hutan. Hutan menjadi tempat yang banyak dihuni oleh nyamuk Anopheles, sehingga orang yang sering berada di area tersebut lebih berisiko untuk terinfeksi P. Vivax,” jelas Inke Nadia. 

 

Mereka yang menghabiskan malam di hutan memiliki peluang seropositif terhadap P. vivax yang lebih tinggi dengan odds ratio sebesar 3,93. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang tinggal atau bekerja di daerah hutan memiliki risiko lebih tinggi untuk terpapar malaria. Meskipun demikian, untuk P. falciparum, tidak ditemukan faktor risiko yang signifikan dalam penelitian ini. Ini menandakan bahwa transmisi P. falciparum lebih tersebar merata dan tidak terkait dengan kebiasaan atau lokasi tertentu seperti hutan.

 

Inke Nadia memaparkan jika penelitian ini memberikan wawasan yang sangat berharga bagi upaya pengendalian malaria di Langkat dan daerah lainnya. Meskipun P. falciparum dan P. vivax memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal keparahan infeksi dan cara penyebarannya, hasil serologi ini menunjukkan bahwa kedua spesies ini harus mendapat perhatian yang seimbang dalam strategi eliminasi malaria. Kedua parasit ini memiliki pola transmisi yang serupa di Langkat, sehingga perlu ada pendekatan yang lebih holistik dalam pengendalian malaria, yang tidak hanya berfokus pada P. falciparum saja.

 

Temuan tentang faktor risiko juga sangat penting untuk merancang langkah-langkah pencegahan yang lebih tepat. Misalnya, bagi mereka yang sering bekerja di atau tinggal di hutan, penting untuk memperkenalkan tindakan pencegahan seperti penggunaan kelambu, pakaian pelindung, atau penggunaan obat anti-nyamuk. Ini akan mengurangi risiko terpapar malaria, khususnya P. vivax. Selain itu, pendidikan masyarakat mengenai pentingnya tindakan pencegahan malaria, terutama di daerah yang berisiko tinggi, perlu terus diperkuat. Dengan informasi yang tepat, masyarakat bisa lebih waspada dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindungi diri dari malaria.

 

“Salah satu keuntungan besar dari pendekatan serologi adalah kemampuannya untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang pola transmisi malaria di suatu daerah, bahkan ketika kasus aktif menurun. Serologi memungkinkan kita untuk melihat apakah seseorang sudah terpapar malaria tanpa gejala atau tanpa diagnosis formal,” kata Inke Nadia. 

 

Hal ini sangat berguna dalam memantau efektivitas strategi pengendalian malaria yang diterapkan di lapangan. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang pola transmisi dan faktor risiko yang ada, pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk mengurangi jumlah kasus malaria dan menuju eliminasi pada tahun 2030.

 

Meskipun Langkat telah menunjukkan penurunan signifikan dalam kasus malaria, penelitian ini mengingatkan kita bahwa perjalanan menuju eliminasi malaria masih panjang. Penelitian serologi memberikan alat yang berguna untuk terus memantau transmisi dan memastikan bahwa daerah-daerah dengan risiko transmisi tinggi tidak terabaikan dalam upaya pengendalian. Di sinilah pentingnya pendekatan berbasis data yang memungkinkan peneliti dan pihak berwenang untuk terus melacak perkembangan malaria dan menyesuaikan kebijakan yang ada.

 

Dalam skala yang lebih besar, hasil penelitian ini juga memberikan kontribusi penting bagi upaya eliminasi malaria secara nasional. Dengan menggunakan serologi sebagai alat pemantauan, Indonesia dapat lebih cepat mengidentifikasi daerah-daerah dengan transmisi malaria yang lebih tinggi dan menyesuaikan intervensi yang dilakukan. Ini memungkinkan negara untuk lebih efisien dalam menggunakan sumber daya yang ada, sekaligus mempercepat upaya menuju eliminasi malaria pada 2030.

SDGsSDGs 3

Detail Paper

JurnalFrontiers in Cellular and Infection Microbiology
JudulSerology reveals comparable patterns in the transmission intensities of Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax in Langkat district, North Sumatera Province, Indonesia
PenulisInke Nadia Diniyanti Lubis (1), Irbah Rea Alvieda Nainggolan (1), Meliani (1), Beby Syofiani Hasibuan (1), Kumuthamalar Sangaran (2,3), Luqman Samsudin (4), Sriwipa Chuangchaiya (5), Paul Cliff Simon Divis (6), Ranti Permatasari (1), Zulkarnain Md Idris (2)
Afiliasi Penulis
  1. Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
  2. Department of Parasitology and Medical Entomology, Faculty of Medicine, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia
  3. National Public Health Laboratory, Ministry of Health, Sungai Buloh, Selangor, Malaysia
  4. Vector-Borne Disease Unit, Lipis District Health Office, Kuala Lipis, Pahang, Malaysia
  5. Department of Community Health, Faculty of Public Health, Kasetsart University, Sakon Nakhon, Thailand
  6. Malaria Research Centre, Faculty of Medicine and Health Sciences, Universiti Malaysia Sarawak, Kota Samarahan, Sarawak, Malaysia

Fitur Aksesibilitas

  • Grayscale

  • High Contrast

  • Negative Contrast

  • Text to Speech

icon

Mengobrol dengan

Halo USU

Halo,
Dengan Layanan Bantuan USU
Ada yang bisa kami bantu hari ini?
- Admin