A11Y

HOME

MENU

CARI

Dari Biji Kopi ke Inovasi Wajah

Diterbitkan Pada10 November 2025
Diterbitkan OlehRoni Hikmah Ramadhan S.S.
Dari Biji Kopi ke Inovasi Wajah
Copy Link
IconIconIcon

Dari Biji Kopi ke Inovasi Wajah

 

Diterbitkan oleh

Rizki Hakim Lubis, S. Kom

Diterbitkan pada

Senin, 10 November 2025

Logo
Download

Di meja kerjanya yang penuh dengan botol sampel dan lembar uji laboratorium, Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. menatap satu produk dengan senyum kecil—sebotol pembersih wajah berwarna cokelat lembut dengan label sederhana bertuliskan Annrich Coffee Facial Wash. “Saya tidak pernah mengira,” katanya perlahan, “bahwa dari ampas kopi yang dulu dianggap limbah, bisa lahir produk kecantikan dengan nilai ekonomi yang begitu tinggi.”

Sejak awal kariernya di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Julia sudah memiliki pandangan khas tentang riset: ilmu pengetahuan harus punya napas sosial. Setiap hasil penelitian, sekecil apa pun, harus kembali kepada masyarakat, memperbaiki kehidupan, dan menciptakan manfaat ekonomi nyata. Pandangan itu menjadi dasar dari semua inovasi yang ia pimpin, termasuk rangkaian produk kecantikan alami Annrich by Annasya Ali, sebuah merek kosmetik hasil riset yang kini mulai dikenal luas sebagai simbol keberhasilan kolaborasi antara sains, teknologi, dan kewirausahaan kampus.

Salah satu inovasi terbaru mereka adalah Annrich Coffee Facial Wash—pembersih wajah berbahan dasar kopi alami yang dikembangkan melalui riset bertahun-tahun. Produk ini lahir bukan dari laboratorium mewah, melainkan dari gagasan sederhana: bagaimana menjadikan limbah kopi yang melimpah di Indonesia menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. “Kopi itu bagian dari kehidupan kita,” ujar Julia. “Ia ada di setiap rumah, di setiap obrolan, tapi sedikit yang tahu bahwa ampasnya bisa menjadi bahan aktif kosmetik yang sangat potensial.”

Di tangan Julia dan timnya, ampas kopi diolah menggunakan teknologi micro-scrub natural berbasis charcoal dan vitamin E, dengan tambahan virgin coconut oil (VCO) sebagai pelembap alami. Proses pembuatannya melibatkan tahap pemisahan partikel halus, pengeringan terkontrol, dan stabilisasi bahan aktif agar menghasilkan tekstur lembut dan aroma khas yang menyegarkan. “Kami ingin menciptakan pembersih wajah yang benar-benar alami—tanpa bahan sintetis keras, tanpa SLS, dan ramah lingkungan,” jelasnya. “Sains memberi kita kemampuan untuk menjaga alam tanpa harus meninggalkan inovasi.”

Produk ini juga menjadi bagian dari rangkaian inovasi yang lahir dari skema Hibah Komersialisasi Produk Inovasi dan Badan Pengembangan Riset dan Inovasi (BPRI) USU. Julia tidak bekerja sendiri; di belakangnya ada tim akademisi muda, mahasiswa farmasi, dan mitra industri lokal yang ikut serta dalam setiap tahap pengembangan, dari riset laboratorium hingga uji pasar. “Mahasiswa bukan hanya kami ajari teori,” katanya, “tetapi kami libatkan langsung dalam proses riset dan produksi. Dari sini mereka belajar bahwa sains bisa menjadi mata pencaharian, bukan hanya pengetahuan.”

Seperti produk Annrich lainnya, Coffee Facial Wash tidak sekadar kosmetik, tetapi wujud nyata riset berbasis kebutuhan masyarakat. Di tengah tren back to nature dan meningkatnya kesadaran konsumen terhadap bahan alami, permintaan terhadap produk perawatan kulit yang aman dan ramah lingkungan terus naik. Julia dan timnya menangkap peluang ini dengan menggabungkan dua kekuatan: kekayaan hayati Indonesia dan kemampuan teknologi modern. “Kalau kita bisa memanfaatkan sumber daya lokal, maka nilai tambahnya akan jauh lebih besar,” ujarnya. “Petani kopi di Sumatera bisa mendapatkan nilai ekonomi baru dari limbah yang selama ini dibuang percuma.”

Visi itu kemudian membawa Julia ke tahap baru: menjadikan Annrich by Annasya Ali bukan sekadar merek produk, tapi juga ekosistem riset dan kewirausahaan kampus. Dalam setiap kegiatan, Julia selalu menekankan pentingnya membangun rantai produksi yang inklusif—dari peneliti, mahasiswa, pelaku usaha, hingga masyarakat sekitar. “Kami ingin universitas menjadi jantung dari ekonomi kreatif berbasis ilmu,” katanya. “Tidak hanya menghasilkan ide, tapi juga menggerakkan ekonomi.”

 

 

Produk Annrich Coffee Facial Wash sempat mencuri perhatian publik ketika diperkenalkan dalam acara Job Fair & Festival Produk Inovasi USU. Wakil Rektor III USU, Prof. Dr. Apt. Poppy Anjelisa Zaitun Hasibuan, S.Si., M.Si., bahkan menyempatkan diri mengunjungi booth pameran untuk melihat langsung formula baru tersebut. Sebelumnya, produk ini juga pernah tampil di Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (HARTEKNAS) di Bali dan dijadikan oleh-oleh khusus untuk Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim saat berkunjung ke kampus USU. “Momen itu menegaskan bahwa karya riset kampus bisa menjadi kebanggaan nasional,” kata Julia dengan nada bangga namun tenang.

Kini, Annrich Coffee Facial Wash sudah tersedia di berbagai platform digital seperti Tokopedia dan TikTok Shop. Tapi bagi Julia, lebih dari sekadar penjualan, yang ia rayakan adalah perubahan pola pikir: bahwa hasil riset dosen dan mahasiswa bisa bersaing di pasar global tanpa kehilangan nilai etik dan tanggung jawab ilmiah. “Kami tidak sedang menjual kosmetik,” ujarnya, “kami sedang membangun kepercayaan.”

Di balik semua pencapaian itu, Julia tak menutupi bahwa perjalanannya tidak mudah. Mengubah riset menjadi produk komersial membutuhkan keberanian dan keteguhan hati. Banyak hal yang harus dihadapi: regulasi BPOM, pembiayaan, sertifikasi halal, hingga penyesuaian formula untuk produksi massal. “Kadang kami harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk satu izin,” katanya sambil tertawa kecil. “Tapi begitulah proses yang harus dijalani kalau ingin karya kita bertahan lama.”

Apa yang membuat Julia berbeda adalah kemampuannya melihat sains sebagai bagian dari kehidupan sosial. Bagi dia, setiap riset bukan hanya tentang publikasi, melainkan juga tentang tanggung jawab sosial. “Saya ingin mahasiswa memahami bahwa setiap tabung reaksi yang mereka pegang punya dampak terhadap kehidupan orang lain,” ujarnya. “Ketika mereka membuat produk yang baik, mereka sedang membantu banyak orang untuk hidup lebih sehat, lebih percaya diri, dan lebih bahagia.”

Di ruang kerjanya yang dipenuhi botol-botol sampel, Julia mengingat kembali awal mula ia mendirikan Annrich. Kala itu, banyak yang meragukan gagasannya untuk mengubah penelitian farmasi menjadi usaha kosmetik. Tapi ia percaya, sains harus berkembang sesuai zaman. “Saya tidak ingin riset berhenti di jurnal,” katanya. “Saya ingin riset menjadi gerakan ekonomi yang bermartabat.”

Kini, mimpi itu perlahan menjadi nyata. Di bawah payung Annrich by Annasya Ali, Julia dan timnya terus berinovasi. Mereka tengah mengembangkan lini produk ramah lingkungan lainnya: herbal hand creamnatural lip balm, hingga moisturizing toner berbasis ekstrak lokal. Semua diproses dengan prinsip green chemistry, teknologi tanpa limbah yang menjaga lingkungan tetap lestari. “Kami ingin memperkenalkan konsep bahwa kecantikan dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan,” katanya.

Dampak sosialnya pun mulai terasa. Melalui kerja sama dengan pelaku UMKM dan petani lokal, limbah kopi dari daerah sekitar Medan kini diolah menjadi bahan baku berharga. Para mahasiswa yang tergabung dalam tim riset mendapatkan pelatihan kewirausahaan, sementara laboratorium fakultas berfungsi sebagai pusat pelatihan inovasi. “Setiap orang yang terlibat mendapatkan nilai tambah,” kata Julia. “Inilah bentuk nyata dari pendidikan yang berdaya guna.”

Dalam satu kesempatan, ia berkata dengan nada reflektif, “Saya percaya, setiap bahan alami menyimpan cerita. Kopi, misalnya, bukan hanya tentang aroma dan rasa, tapi tentang kerja keras petani, tentang kehangatan budaya, dan tentang siklus kehidupan yang harus kita jaga.” Bagi Julia, menyelamatkan satu butir ampas kopi sama artinya dengan menghargai seluruh rantai kehidupan di baliknya.

Hari ini, Annrich Coffee Facial Wash bukan sekadar produk pembersih wajah. Ia adalah simbol dari transformasi riset menjadi aksi nyata—dari laboratorium menuju masyarakat, dari sains menuju keberlanjutan ekonomi. Setiap botol yang keluar dari ruang produksi membawa pesan bahwa kemajuan tidak harus datang dari luar negeri; ia bisa tumbuh dari tangan para ilmuwan di dalam negeri yang bekerja dengan hati dan etika.

Menjelang senja, ketika cahaya matahari memantul lembut di kaca laboratorium, Julia menutup laptopnya dan tersenyum. “Saya selalu percaya, ilmu itu punya dua wajah,” ujarnya. “Satu wajah yang mengajarkan, satu wajah yang menggerakkan. Kalau dua-duanya bisa kita satukan, maka kita tidak hanya akan menciptakan produk—kita menciptakan perubahan.”

Dari secangkir kopi, Julia Reveny dan timnya menunjukkan bahwa inovasi sejati tidak selalu berawal dari hal besar. Kadang, ia tumbuh dari sisa kecil yang diabaikan—dan dari tangan yang tekun menjadikannya sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang.

 

SDGsSDGs 7SDGs 9

Detail Paper

Jurnal-
Judul-
Penulis-
Afiliasi Penulis-

Fitur Aksesibilitas

  • Grayscale

  • High Contrast

  • Negative Contrast

  • Text to Speech

icon

Mengobrol dengan

Halo USU

Halo,
Dengan Layanan Bantuan USU
Ada yang bisa kami bantu hari ini?
- Admin