Wamendagri Bahas Revisi UU Pemilu di FISIP USU




Wamendagri Bahas Revisi UU Pemilu di FISIP USU
Diterbitkan oleh
Bambang Riyanto
Diterbitkan pada
Sabtu, 08 Februari 2025


"Saya berlatar belakang akademisi dan saya percaya bahwa dialog serta debat akan menghasilkan keputusan yang lebih baik. Oleh karena itu, kami membuka ruang bagi kampus untuk berdiskusi secara bebas," kata Wamendag RI.
HUMAS USU - Wakil Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Wamendagri RI), Dr. Bima Arya Sugiarto, mengunjungi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU) untuk memberikan materi dan berdiskusi terkait revisi Undang-Undang Pemilihan Umum. Diskusi tersebut berlangsung di Aula Serbaguna FISIP USU, pada Jumat (07/02/2025).
Dekan FISIP USU, Dr. Hatta Ridho, S.Sos., MSP, menyambut baik inisiatif pemerintah dalam membuka ruang diskusi terkait revisi UU Pemilu. Ia menyatakan bahwa penyatuan dua rezim undang-undang pemilu sangat penting untuk menyinkronkan regulasi dan menciptakan sistem pemilu yang lebih baik. Dengan demikian, diharapkan rekrutmen kelembagaan di tingkat pusat dan daerah dapat lebih transparan dan profesional.
"Jika undang-undang ini disatukan, maka akan lebih mudah memastikan rekrutmen kelembagaan yang lebih transparan dan sesuai dengan prinsip demokrasi," ujarnya.
Dekan FISIP USU juga menegaskan bahwa FISIP USU telah lama berkontribusi dalam kajian dan riset terkait reformasi undang-undang pemilu. Dalam berbagai kesempatan, pihaknya turut serta dalam diskusi dengan penyelenggara pemilu dan memberikan masukan kebijakan.
"Kami sering mengadakan diskusi dengan penyelenggara pemilu, baik di tingkat KPU maupun Bawaslu. Kami juga memiliki banyak pakar yang telah terlibat dalam kajian kebijakan pemilu," tambahnya.
Dalam pemaparannya, Wamendagri RI menyoroti beberapa pasal dalam undang-undang pemilu yang dinilai kontradiktif dan perlu diperbaiki. Ia menegaskan bahwa penyatuan regulasi diperlukan agar tidak menimbulkan kebingungan di lapangan dan memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara pemilu.
"Di Undang-Undang Pemilu, yang dihukum hanyalah pelaku utama, sementara di Undang-Undang Pilkada, keduanya bisa dikenakan sanksi hukum. Ini hanya satu dari banyak kontradiksi yang harus diselaraskan," ujar Dr. Bima.
Lebih lanjut, Wamendagri RI menjelaskan bahwa revisi undang-undang ini sangat penting mengingat undang-undang pemilu menjadi yang paling sering digugat ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, lebih dari seratus gugatan telah diajukan, yang menunjukkan bahwa masih banyak aspek yang perlu diperbaiki agar sistem pemilu lebih transparan dan adil.
"Sepanjang sejarah Mahkamah Konstitusi berdiri, dua undang-undang ini yang paling sering digugat oleh warga. Ada lebih dari seratus gugatan," tambahnya.
Wamendagri RI menegaskan bahwa proses revisi undang-undang ini harus melibatkan berbagai pihak, terutama akademisi dan masyarakat. Ia menyatakan bahwa Kemendagri membuka ruang diskusi untuk mendengar berbagai masukan. Dengan adanya partisipasi dari kampus dan akademisi, diharapkan revisi ini dapat menghasilkan kebijakan yang lebih matang dan menyeluruh.
"Saya berlatar belakang akademisi, dan saya percaya bahwa dialog serta debat akan menghasilkan keputusan yang lebih baik. Oleh karena itu, kami membuka ruang bagi kampus untuk berdiskusi secara bebas," kata Wamendag RI.
Acara ini juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk menyampaikan pertanyaan dan pandangan mereka. Diskusi yang terbuka dan partisipatif ini diharapkan menjadi awal dari proses revisi yang lebih inklusif serta menghasilkan kebijakan pemilu yang lebih transparan dan efektif di Indonesia