USU Tambah Dua Guru Besar Tetap, Rektor: Harus Mampu Mendorong Inovasi dan Hilirisasi





USU Tambah Dua Guru Besar Tetap, Rektor: Harus Mampu Mendorong Inovasi dan Hilirisasi
Diterbitkan oleh
Bambang Riyanto
Diterbitkan pada
Kamis, 11 November 2021


Rektor USU Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si., mengatakan penambahan dua guru besar tetap diharapkan mampu mendorong inovasi, karya tulisan ilmiah dan hilirisasi produk ilmiah untuk bisa dikomersialisasi dengan dunia industri. “Dua hari yang lalu kita juga baru saja mengukuhkan tiga guru besar, hari ini kita kukuhkan dua lagi. Semoga penambahan ini mampu membawa USU ke level yang lebih baik, merealisasikan internasionalisasi dan Renstra USU, Indikator Kerja Utama Universitas dan Program Kerja Rektor,” ujar mantan Dekan FISIP ini.
HUMAS USU - Universitas Sumatera Utara (USU) menambah dua guru besar tetap yang dikukuhkan pada Kamis (11/11/2021) di Auditorium. Dua guru besar yang dikukuhkan tersebut adalah Guru Besar Bidang Humaniora pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Prof. Dr. Drs. Budi Agustono, M.S., dan Guru Besar Bidang Ilmu Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prof. Dr. Iskandar Muda, S.E., M.Si., Ak.
Rektor USU Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si., mengatakan penambahan dua guru besar tetap diharapkan mampu mendorong inovasi, karya tulisan ilmiah dan hilirisasi produk ilmiah untuk bisa dikomersialisasi dengan dunia industri.
“Dua hari yang lalu kita juga baru saja mengukuhkan tiga guru besar, hari ini kita kukuhkan dua lagi. Semoga penambahan ini mampu membawa USU ke level yang lebih baik, merealisasikan internasionalisasi dan Renstra USU, Indikator Kerja Utama Universitas dan Program Kerja Rektor,” ujar mantan Dekan FISIP ini.
Prof Budi Agustono dalam pidato pengukuhannya mengangkat tentang Konflik Etnik di Indonesia. Di Sumatera Timur setelah kemerdekaan, posisi strategis dan pimpinan puncak pemerintahan diisi kaum pergerakan dengan latar belakang kelompok etnik berbeda dan ideologi perjuangan yang berbeda pula.
“Sewaktu elite yang berlatar belakang berbagai kelompok etnik yang juga menganut ideologi yang berlainan masih belum solid menghasilkan ketidakstabilan politik. Ketidakstabilan dan ketidakmentuan politik makin dirasakan sewaktu kaum pergerakan yang menduduki posisi strategis di pemerintahan memandang kecurigaan terhadap Kesultanan Melayu, dan sebaliknya Kesultanan Melayu yang menyaksikan perubahan politik yang cepat membuat ragu mengambil sikap terhadap perubahan politik yang cepat,” ujarnya.
Prof Budi menjelaskan, konflik etnik yang terjadi di berbagai daerah menjadi akar ramalan dan analisis Indonesia akan menuju balkanisasi seperti yang terjadi di Eropa Timur. Ramalan dan analisis atau juga kecemasan balkanisasi tidak terjadi.
“Pengelolaan etnisitas yang jumlahnya ratusan ini perlu beroleh perhatian serius di tengah mengencangnya gempuran globalisasi yang semakin merasuki tubuh etnik terutama dengan teknologi digital yang menyebarkan budaya global yang dapat memengaruhi sikap hidup dan kesadaran etnik,” kata mantan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU ini.
Prof Budi mengatakan, di Sumatera Utara kontestasi sumber daya ekonomi dan politik antarkelompok etnik relatif tinggi. Akan tetapi di wilayah yang sebelum kemerdekaan terkenal dengan julukan Tanah Deli ini tidak pernah terjadi konflik etnik. Ini bisa terjadi bisa karena bekerjanya asosiasi kewargaan dan organisasi masyarakat sipil yang mampu mengakomodir aspirasi kelompok etnik di ruang publik.
Pidato Prof Iskandar
Sementara Prof. Dr. Iskandar Muda, S.E., M.Si., Ak., menyampaikan pidato pengukuhannya berjudul Peranan Low Carbon dalam Formulasi Model Dana Bantuan Keuangan Provinsi pada Kabupaten. Ia menjelaskan carbon tax merupakan proxy dari Low Carbon Economy Indicators yang memainkan peran penting dalam pendekatan kebijakan iklim mikroekonomi dan kebijakan keuangan. Carbon Tax telah dianjurkan oleh para ekonom sebagai salah satu mekanisme fiskal paling efektif untuk mengatasi perubahan iklim karena kemampuannya untuk memengaruhi insentif ekonomi dan penganggaran secara luas untuk tujuan lebih jauh yaitu mengendalikan iklim.
“Carbon Tax dapat menyalaraskan insentif ekonomi untuk mengarahkan pengambilan keputusan ekonomi ke arah low carbon. Hasil dari Carbon Tax akan menghasilkan pendapatan pajak yang kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan efek inovasi hijau dengan memastikan rendah karbon yang stabil,” ujarnya.
Prof Iskandar menjelaskan, implikasi teori ini dapat menjadi bahan dan rekomendasi sebagai role model pola penganggaran yang dilakukan pemerintah provinsi dan menjadi landasan penelitian lebih lanjut dalam bidang Akuntansi Sektor Publik sub bidang Penganggaran.
“Model ini diharapkan dapat mendukung penerapan pajak kendaraan berdasarkan standar emisi. Pungutan pajak sebaiknya tidak lagi berdasarkan kapasitas mesin atau segmentasi kendaraan. Pajak karbon menciptakan insentif yang tepat bagi pemerintah provinsi untuk mengurangi CO2 untuk mendukung perlindungan iklim,” katanya.
Sementara implikasi praktis, imbuhnya, penerapan model ini mendukung anggaran dana bantuan keuangan provinsi yang disusun berdasarkan prinsip pengalokasian anggaran berbasis lingkungan hidup, mempertimbangkan isu global warming, climate disasters dan climate transition risks (green budgeting), kesederhanaan formula, adanya aspek pemerataan, kecukupan, efisiensi, penyesuaian terhadap inflasi, menjamin otonomi daerah dan akuntabilitas lokal, alolaski stabil dan dapat diprediksi.
Author: Bambang Riyanto - Humas
Interviewee: Dr Muryanto Amin, SSos, MSi - Rektor USU
Photographer: Amri Simatupang, Muhammad Adriansyah - Humas