Strategi Baru Petani Padi Menghadapi Perubahan Iklim





Strategi Baru Petani Padi Menghadapi Perubahan Iklim
Diterbitkan oleh
David Kevin Handel Hutabarat
Diterbitkan pada
Senin, 22 September 2025


Penelitian terbaru dari Universitas Sumatera Utara mengkaji bagaimana petani padi di dataran tinggi Danau Toba beradaptasi terhadap perubahan iklim, membandingkan wilayah beririgasi dan non-irigasi. Temuan menyoroti peran akses air, kelembagaan kelompok tani, serta memudarnya keandalan pengetahuan tradisional dalam menentukan waktu tanam.
Perubahan iklim tidak lagi menjadi wacana global yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Bagi para petani di dataran tinggi sekitar Danau Toba, perubahan itu sudah terasa nyata, dari musim tanam yang semakin sulit diprediksi hingga hasil panen yang semakin rentan gagal. Artikel ilmiah berjudul Climate Change Adaptation Knowledge Among Rice Farmers in Lake Toba Highland, Indonesia yang diterbitkan pada Juni 2025 di jurnal Sustainability membahas fenomena ini secara mendalam. Penelitian tersebut ditulis oleh Rizabuana Ismail, Erika Revida, Suwardi Lubis, Emmy Harso Kardhinata, Raras Sutatminingsih, Ria Manurung, Bisru Hafi, Rahma Hayati Harahap, dan Devi Sihotang.
Fokus penelitian mereka sederhana namun krusial: bagaimana petani padi di kawasan dataran tinggi Danau Toba menyesuaikan diri menghadapi dampak perubahan iklim, dan bagaimana pengetahuan tradisional yang selama ini menjadi pegangan mulai berubah atau bahkan ditinggalkan. Di awal kajian, mereka menekankan betapa perubahan iklim memberi dampak langsung pada sektor pertanian di Indonesia. Tahun 2023, misalnya, kerugian finansial akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai Rp115,53 triliun, dengan Rp19,94 triliun di antaranya berasal dari sektor pertanian.
Dalam penelitian ini, 130 petani padi dipilih secara purposif dari dua wilayah berbeda di Kabupaten Samosir: Kecamatan Harian yang menggunakan irigasi berbasis Air Terjun Efrata, serta Kecamatan Pangururan yang tidak memiliki sistem irigasi permanen dan mengandalkan hujan atau pompa air dari Danau Toba . Perbedaan kondisi geografis ini memberi peluang untuk membandingkan strategi adaptasi petani yang berada di lahan beririgasi dengan mereka yang hanya mengandalkan air hujan.
Menurut Rizabuana Ismail, pemilihan dua lokasi ini memang disengaja untuk menangkap dinamika adaptasi yang lebih lengkap. Ia menjelaskan bahwa, “Perbedaan akses air memengaruhi cara petani memahami dan merespons perubahan iklim. Dengan membandingkan keduanya, kita bisa melihat pola yang lebih jelas.”
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesadaran petani terhadap perubahan iklim cukup tinggi. Sebagian besar menyadari adanya penurunan curah hujan, peningkatan suhu, serta berkurangnya debit air sungai dalam sepuluh tahun terakhir . Bagi petani non-irigasi, dampak ini terasa lebih berat karena ketersediaan air benar-benar menjadi faktor penentu. Hampir semua petani non-irigasi (98,5%) melaporkan pernah mengalami kekeringan panjang, dibandingkan dengan 66,1% petani beririgasi.
Kesadaran ini kemudian mendorong munculnya berbagai strategi adaptasi. Petani beririgasi cenderung tetap menanam padi, meskipun beberapa mencoba diversifikasi dengan menanam jagung. Konflik perebutan air juga sempat terjadi ketika debit air dari Air Terjun Efrata menurun di musim kering panjang. Sebagian petani bahkan menjaga saluran irigasi pada malam hari agar aliran air tidak dialihkan pihak lain .
Sementara itu, petani non-irigasi lebih banyak bergantung pada pompa air untuk mengairi sawah yang dekat dengan Danau Toba. Namun, biaya sewa pompa Rp30.000 per hektare membuat mereka harus berhitung. Tidak jarang lahan dibiarkan bera di musim kering karena biaya pengairan lebih besar daripada hasil panen yang didapat. Dalam kondisi ekstrem, mereka beralih menanam tanaman jangka pendek seperti jagung, kacang panjang, atau jahe yang lebih tahan kekeringan.
Situasi ini menimbulkan fenomena sosial baru: rasa iri antarpetani. Mereka yang lahannya dekat dengan Danau Toba masih bisa memanfaatkan pompa, sedangkan yang di perbukitan benar-benar hanya mengandalkan hujan. Perbedaan akses air ini menciptakan ketidakadilan dalam kapasitas adaptasi. Bagi sebagian petani, ini melahirkan kecemburuan sosial yang berpotensi memicu konflik.
Penelitian ini juga menyoroti peran kelompok tani. Lebih dari 90 persen responden tergabung dalam kelompok tani, terutama untuk memperoleh pupuk bersubsidi atau bibit padi yang lebih baik. Namun, peran kelompok tani dalam memberikan informasi tentang perubahan iklim masih minim. Sebanyak 71,4 persen petani mengatakan kelompok tani mereka tidak pernah menyosialisasikan informasi perubahan iklim . Akibatnya, sebagian besar petani (87,7%) menanam padi tanpa mengacu pada data iklim formal, melainkan berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan langsung.
Salah satu temuan penting adalah semakin menurunnya keandalan pengetahuan tradisional. Dulu, petani Batak Toba membaca tanda-tanda alam untuk menentukan waktu tanam: arah angin dari Danau Toba, perilaku ikan di danau, atau suara tertentu dari alam. Namun, kini tanda-tanda itu semakin sulit diprediksi. Hampir semua petani (96,7%) menyatakan bahwa pola musim sudah tidak menentu lagi . Misalnya, hujan yang biasanya turun pada September, dalam beberapa tahun terakhir baru datang pada Oktober. Akibatnya, pola tanam yang dulu bisa dua kali setahun kini sering hanya sekali.
Meski pengetahuan tradisional semakin tergerus, bukan berarti petani kehilangan kreativitas. Mereka mengembangkan strategi berbasis pengalaman. Misalnya, sebagian petani memajukan waktu tanam untuk mengantisipasi hujan yang terlambat, atau segera memanen lebih awal ketika angin kencang mengancam merobohkan batang padi. Di sini terlihat bahwa adaptasi berjalan lebih sebagai respons praktis ketimbang berdasarkan ramalan tradisional.
Rizabuana Ismail melihat fenomena ini sebagai cermin ketangguhan petani. Menurutnya, hilangnya sebagian pengetahuan tradisional bukan berarti kelemahan, melainkan transisi menuju strategi yang lebih sesuai dengan kondisi iklim saat ini. “Petani selalu belajar dari pengalaman. Mereka mungkin tidak lagi mengandalkan tanda-tanda alam yang dulu, tetapi tetap menemukan cara agar sawahnya bisa menghasilkan,” jelasnya.
Dari sisi hasil panen, perbedaan antara petani beririgasi dan non-irigasi juga signifikan. Bagi petani beririgasi, gagal panen biasanya berarti hasil berkurang, tetapi masih ada yang bisa dipanen. Sebaliknya, bagi petani non-irigasi, gagal panen bisa berarti nihil—tidak ada hasil sama sekali. Kondisi ini membuat mereka lebih rentan jatuh ke dalam kerugian besar, bahkan harus mencari pekerjaan tambahan sebagai buruh tani di tempat lain.
Studi ini kemudian memberikan rekomendasi penting. Pertama, perlunya kebijakan yang lebih peka terhadap perbedaan geografis. Dukungan pemerintah tidak bisa seragam, melainkan harus menyesuaikan kondisi lapangan. Kedua, perlunya memperkuat kapasitas kelompok tani sebagai pusat informasi iklim, bukan hanya tempat distribusi pupuk dan benih. Ketiga, perlunya integrasi antara sains modern dengan pengetahuan lokal agar proses adaptasi lebih efektif.
Temuan ini juga sejalan dengan tren global. Banyak studi internasional menunjukkan bahwa petani kecil di berbagai belahan dunia beradaptasi dengan cara mereka sendiri, terlepas dari apakah mereka percaya pada konsep ilmiah perubahan iklim atau tidak. Pengalaman nyata sehari-hari lebih meyakinkan daripada laporan ilmiah yang sering terasa abstrak. Hal yang sama berlaku di dataran tinggi Danau Toba. Para petani tidak menunggu data iklim dari pemerintah, melainkan langsung bertindak berdasarkan apa yang mereka lihat dan alami.
Dalam konteks inilah, penelitian yang dilakukan Rizabuana Ismail dan tim menjadi sangat penting. Ia tidak hanya mendokumentasikan apa yang sudah dilakukan petani, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang bagaimana pengetahuan tradisional bisa dipelihara tanpa mengorbankan kebutuhan adaptasi yang lebih praktis. Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa sains bisa berjalan beriringan dengan kearifan lokal, bukan saling meniadakan.
Di akhir penjelasannya, Rizabuana Ismail menyampaikan sebuah refleksi: “Petani kita punya daya tahan luar biasa. Tantangan iklim mungkin semakin berat, tapi mereka tetap berusaha mencari jalan. Tugas kita sebagai peneliti dan pembuat kebijakan adalah memastikan usaha itu didukung, bukan dibiarkan sendiri.”
Dengan kata lain, kisah petani di dataran tinggi Danau Toba adalah kisah tentang ketahanan manusia menghadapi ketidakpastian. Pengetahuan tradisional yang dulu menjadi panduan kini mungkin mulai pudar, tetapi semangat untuk bertahan justru semakin terang. Penelitian ini mengingatkan bahwa adaptasi bukan sekadar soal teknologi, melainkan juga soal keberanian dan kebersamaan dalam menghadapi perubahan.
Detail Paper
- Departemen Sosiologi, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia
- Departemen Administrasi Publik, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia
- Departemen Komunikasi, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia
- Departemen Agroteknologi, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia
- Departemen Psikologi, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia