Fraud di Perbankan: Bagaimana Self-Efficacy dan Skeptisisme Profesional Membentuk Auditor yang Tangguh





Fraud di Perbankan: Bagaimana Self-Efficacy dan Skeptisisme Profesional Membentuk Auditor yang Tangguh
Diterbitkan oleh
David Kevin Handel Hutabarat
Diterbitkan pada
Senin, 22 September 2025


Penelitian di sektor perbankan Indonesia menegaskan bahwa red flag awareness, self-efficacy, dan skeptisisme profesional auditor sangat berpengaruh terhadap efektivitas deteksi fraud. Temuan ini menekankan pentingnya pelatihan berkelanjutan, dukungan organisasi, serta budaya integritas dalam menjaga kepercayaan publik.
Kasus-kasus penipuan di sektor perbankan Indonesia tampaknya tidak pernah benar-benar berhenti. Meski berbagai regulasi sudah diterbitkan, sistem audit diperkuat, dan teknologi pendeteksi kecurangan semakin canggih, berita tentang fraud masih muncul. Dari penggelapan dana nasabah, manipulasi laporan keuangan, hingga penyalahgunaan kredit, semuanya menegaskan bahwa sektor keuangan selalu menjadi lahan rawan kecurangan.
Di tengah tantangan itu, muncul penelitian menarik berjudul Enhancing Fraud Detection Performance: The Interplay of Red Flag Awareness, Self-Efficacy, and Professional Skepticism. Artikel ini terbit pada Juni 2025 di jurnal Journal of Risk and Financial Management dan ditulis oleh Andi Auliya Ramadhany, Erlina Erlina, Isfenti Sadalia, dan Khaira Amalia Fachrudin.
Meski ditulis oleh tim, sorotan kita kali ini jatuh pada Herlina, salah satu akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang mendalami bidang audit dan pengendalian internal. Bagi Herlina, isu fraud bukan sekadar kasus kriminal, melainkan masalah tata kelola yang menyentuh akar kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan. “Begitu kepercayaan hilang, dampaknya bukan hanya pada satu bank, tapi bisa mengguncang sistem keuangan secara luas,” jelasnya dalam sebuah wawancara.
Penelitian ini berfokus pada tiga faktor kunci yang memengaruhi kemampuan auditor internal bank dalam mendeteksi fraud: kesadaran terhadap red flag, self-efficacy, dan sikap skeptisisme profesional. Red flag awareness merujuk pada kemampuan auditor mengenali tanda-tanda awal terjadinya kecurangan, misalnya transaksi yang tidak wajar, perubahan gaya hidup karyawan yang drastis, atau dokumen yang tidak konsisten. Self-efficacy berkaitan dengan keyakinan auditor terhadap kemampuan dirinya sendiri untuk menjalankan tugas. Sementara itu, profesional skepticism adalah sikap kritis, hati-hati, dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap informasi yang diberikan manajemen.
Mengapa ketiganya penting? Penelitian ini menegaskan bahwa meski teknologi dan prosedur audit sudah ada, faktor manusia tetap menjadi penentu. Seorang auditor yang tidak waspada pada red flag cenderung melewatkan sinyal penting. Auditor yang kurang percaya diri akan ragu mengambil tindakan tegas. Dan auditor yang kurang skeptis bisa saja terjebak pada laporan palsu yang disusun rapi.
Metodologi yang digunakan cukup komprehensif. Tim peneliti menyebarkan kuesioner kepada auditor internal di berbagai bank komersial di Indonesia. Total, lebih dari 300 auditor ikut serta sebagai responden. Analisis data dilakukan dengan pendekatan Partial Least Square (PLS) yang memungkinkan para peneliti menguji hubungan langsung dan tidak langsung antarvariabel.
Hasilnya jelas. Pertama, kesadaran red flag terbukti meningkatkan sikap skeptisisme profesional auditor, yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan mereka mendeteksi fraud. Kedua, self-efficacy juga berperan penting: auditor yang percaya diri lebih berani mengajukan pertanyaan kritis, menantang asumsi, dan menindaklanjuti temuan yang mencurigakan. Ketiga, kombinasi keduanya melalui mediator berupa profesional skepticism memperkuat deteksi fraud secara signifikan.
Bagi Herlina, temuan ini bukan sekadar angka statistik. Ia melihat langsung betapa auditor sering menghadapi dilema. Di satu sisi, ada tekanan dari manajemen untuk “tidak ribut” soal temuan tertentu. Di sisi lain, ada tanggung jawab moral dan profesional untuk menjaga integritas laporan keuangan. “Skeptisisme profesional adalah benteng terakhir auditor. Kalau itu runtuh, maka fungsi audit hanya akan jadi formalitas,” ungkapnya.
Penelitian ini juga menyoroti konteks regulasi di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Peraturan No. 39/POJK.03/2019 yang mewajibkan bank menerapkan strategi anti-fraud berbasis pencegahan, deteksi, investigasi, pelaporan, dan pemantauan. Meski kerangka regulasi ini cukup kuat, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala. Banyak auditor internal yang belum sepenuhnya terlatih mengenali red flag atau kurang memiliki rasa percaya diri untuk bersikap kritis terhadap manajemen.
Dalam diskusi, Herlina menekankan pentingnya pelatihan berkelanjutan. Ia berpendapat bahwa peningkatan kualitas auditor tidak cukup hanya dengan menguasai prosedur teknis. Mereka juga harus dibekali dengan soft skills seperti keberanian mengambil keputusan, kemampuan komunikasi, dan keteguhan moral. “Fraud tidak selalu terlihat di angka. Kadang muncul dari perilaku, pola transaksi, atau bahkan dari cara seseorang menjawab pertanyaan,” ujarnya.
Studi ini memberikan kontribusi praktis bagi perbankan. Pertama, bank perlu memperkuat pelatihan auditor internal tentang red flag awareness. Indikator sederhana seperti transaksi tanpa dokumen lengkap atau penggunaan rekening pihak ketiga harus segera memicu alarm auditor. Kedua, organisasi perlu membangun budaya kerja yang mendukung self-efficacy. Auditor yang merasa dihargai dan didukung lebih berani menegakkan standar. Ketiga, bank harus menumbuhkan budaya skeptisisme profesional sebagai nilai inti, bukan hanya keterampilan teknis.
Selain itu, penelitian ini juga menggarisbawahi bahwa fraud tidak bisa dilihat hanya dari sisi individu pelaku. Lingkungan kerja yang permisif, lemahnya kontrol, dan tekanan target yang tidak realistis sering kali menjadi pemicu. Auditor yang mampu membaca “sinyal-sinyal merah” lebih awal bisa memberi peringatan, tetapi peringatan itu hanya efektif bila didukung sistem yang responsif.
Dari perspektif akademis, penelitian ini menambah literatur tentang fraud detection di sektor perbankan. Selama ini, banyak studi tentang fraud dilakukan di sektor publik atau perusahaan non-keuangan. Fokus pada perbankan memberikan nilai tambah karena sektor ini memiliki kompleksitas transaksi yang tinggi dan risiko sistemik yang besar.
Di akhir pembicaraan, Herlina menyampaikan pandangan reflektif: “Fraud akan selalu ada, tapi bukan berarti kita menyerah. Yang bisa kita lakukan adalah memperkuat kemampuan auditor agar semakin sulit bagi pelaku untuk menyembunyikan jejak.” Ucapan ini menggambarkan esensi dari penelitian tersebut—bahwa perang melawan fraud bukan sekali jalan, melainkan upaya berkelanjutan yang melibatkan kompetensi, sikap, dan budaya organisasi.
Dengan demikian, artikel ini bukan hanya membahas hubungan variabel-variabel akademis, tetapi juga menawarkan pesan yang relevan bagi industri perbankan: kualitas audit bukan hanya soal prosedur, melainkan tentang manusia yang menjalankannya.
Detail Paper
- Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara