A11Y

HOME

MENU

CARI

Kisah Anemia yang Menjerat Dunia Diam-Diam

Diterbitkan Pada10 Juli 2025
Diterbitkan OlehProf. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D
Kisah Anemia yang Menjerat Dunia Diam-Diam
Copy Link
IconIconIcon

Kisah Anemia yang Menjerat Dunia Diam-Diam

 

Diterbitkan oleh

Prof. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D

Diterbitkan pada

Kamis, 10 Juli 2025

Logo
Download

Penelitian tim USU menantang anggapan lama soal hubungan langsung antara infeksi cacing dan anemia. Studi ini menekankan bahwa ketimpangan sosial lebih berdampak signifikan terhadap prevalensi anemia.

Di balik tubuh mungil anak-anak yang tampak ceria, tersimpan satu kenyataan pahit yang tak selalu terlihat mata. Tak lain ialah tubuh yang bisa jadi sedang kekurangan oksigen. Bukan disebabkan kesulitan bernapas, tetapi karena kadar hemoglobin dalam darahnya terlalu rendah. Yap, itulah anemia. Penyakit sunyi yang terus mengintai generasi masa depan, terutama di negara-negara berkembang. 
 

Keadaan ini dikendalikan oleh parasit kecil tak kasat mata yang ikut memainkan perannya, tak lain ialah cacing usus. Ditilik dari dunia medis, ‘mereka’ ini dikenal sebagai Soil-Transmitted Helminths (STH). Kombinasi berbahaya dari keduanya telah lama dicurigai sebagai pasangan maut yang saling memperkuat. Tapi apakah ini fakta atau asumsi?


Penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan oleh Rahayu Lubis dan tim peneliti dari Universitas Sumatera Utara dengan judul “Impact of Soil-Transmitted Helminths Infections on Anemia Burden: A Global Analysis of Children Under Five and Reproductive-Age Women” menantang anggapan lama tersebut. Tim yang terdiri dari Rahayu Lubis, Fauzi Budi Satria, Rasmaliah Rasmaliah, Jemadi Jemadi, Siti Khadijah Nasution dan Rafdzah Ahmad Zaki melakukan penelitian berskala raksasa yang melibatkan 187 negara selama lima tahun (2015–2019). Para peneliti mencoba menyelami lebih dalam: apakah benar infeksi cacing yang menyebar lewat tanah itu berkontribusi langsung terhadap melonjaknya kasus anemia. Terutama pada dua kelompok paling rentan, yakni anak-anak di bawah usia lima tahun dan perempuan usia reproduktif


Pendekatan yang digunakan tidak hanya menyoroti aspek kesehatan semata. Penelitian ini turut menyentuh jantung persoalan sosial dan ekonomi. Studi ini membawa kita pada satu kenyataan yang lebih kompleks. Ya, memang, infeksi cacing berhasil ditekan secara signifikan selama lima tahun terakhir. Berkat kampanye besar-besaran yang melibatkan pemberian obat massal, perbaikan sanitasi, dan edukasi kebersihan. 


Tapi ironisnya, prevalensi anemia justru tidak menunjukkan grafik penurunan yang sepadan. Anemia bukan sekadar penyakit, melainkaan cerminan rapuhnya sistem pendukung kehidupan sehari-hari. Ketika tubuh kekurangan zat besi, akibatnya bukan hanya rasa lemas atau wajah pucat. Pada anak-anak, anemia bisa menghambat pertumbuhan otak. Mengganggu perkembangan perilaku, bahkan mencuri masa depan mereka. Sedangkan pada perempuan usia reproduktif. Anemia berarti kehamilan berisiko, persalinan berbahaya, dan kelelahan berkepanjangan yang menggerogoti produktivitas dan kualitas hidup.


“Selama ini, kita terlalu terpaku pada cacing sebagai penyebab utama anemia, padahal ada faktor yang jauh lebih mendalam: ketimpangan pembangunan.” Ucap Rahayu Lubis membingkai pergeseran paradigma yang terjadi dalam studi ini. Peneliti tidak lagi hanya melihat mikroorganisme sebagai musuh utama, tetapi juga kebijakan, kemiskinan, dan akses yang timpang terhadap sumber daya dasar.
Penelitian ini turut mengungkap satu hal yang mengejutkan, yakni infeksi cacing memang memiliki hubungan statistik dengan anemia pada anak-anak. Tapi ketika dilihat lebih dalam dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti Indeks Pembangunan Manusia (HDI), akses terhadap air bersih, dan cakupan layanan kesehatan nasional (UHC). Pengaruh cacingan terhadap anemia menjadi kabur, ia tidak lagi dominan. Bagi perempuan, bahkan lebih mencengangkan tidak ada hubungan bermakna antara infeksi cacing dan anemia mereka. 


Lalu siapa tersangkanya?
Di sinilah letak cerita sesungguhnya dimulai. Anemia ternyata lebih erat hubungannya dengan kemiskinan, ketidakadilan akses, dan ketimpangan pembangunan. Di negara-negara dengan HDI rendah, anak-anak jauh lebih mungkin terkena anemia. Negara-negara yang penduduknya kesulitan mendapatkan air minum aman dan sanitasi layak juga mencatat angka anemia yang jauh lebih tinggi. Bahkan di tempat-tempat di mana cakupan layanan kesehatan minim, perempuan terjebak dalam siklus anemia tanpa pernah tahu penyebabnya.


“Anemia bukan hanya soal kurang zat besi atau infeksi. Ia adalah cermin dari siapa yang punya akses dan siapa yang tidak, siapa yang dilindungi negara dan siapa yang dibiarkan berjuang sendiri,” ujar Rahayu dengan nada yang tegas namun reflektif.


Bayangkan seorang ibu muda di sebuah desa terpencil. Ia mungkin tak tahu apa itu zat besi. Mungkin ia tidak pernah diperiksa darahnya selama kehamilan. Ia minum dari air sungai yang sama dengan hewan ternak. Ia mungkin sering merasa pusing, tapi menganggap itu hal biasa. Sementara anaknya, yang berlarian setiap hari, tampak sehat di luar tapi ternyata tubuhnya kekurangan oksigen. Dalam siklus itu, anemia hadir dan menetap, tidak hanya sebagai penyakit, tapi sebagai warisan antargenerasi.


Studi ini juga menyoroti pentingnya pemerintahan yang efektif. Negara dengan tata kelola yang baik, mampu menurunkan angka anemia dengan lebih baik. Sebab dalam masalah seperti ini, keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil bukan hanya soal anggaran, tapi juga soal nyawa, tentang apakah seorang anak bisa tumbuh optimal atau tidak.


“Kami ingin menunjukkan bahwa perbaikan infrastruktur kesehatan tak akan cukup bila tidak diikuti dengan perbaikan sosial. Air bersih, sanitasi, pendidikan perempuan—itulah yang menentukan apakah anemia akan terus ada atau tidak,” kata Rahayu.


Uniknya, meski banyak studi sebelumnya menyebut hubungan langsung antara cacingan dan anemia, studi ini justru menghadirkan narasi baru. Perbedaan itu, menurut peneliti, bisa jadi karena metode yang digunakan studi yang bersifat ekologi. Jadi, bukan berarti cacingan tidak penting, tetapi dalam skala global, penyebab anemia jauh lebih multidimensional dan melampaui soal infeksi parasit.


Pelajaran terbesar dari penelitian ini ialah bahwa kesehatan tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang medis. Ia adalah produk dari sistem sosial yang kompleks. Dimana air bersih, pendidikan, pendapatan, hingga hak perempuan menjadi bagian dari diagnosis. Ketika kita bicara tentang menurunkan anemia, kita tak bisa hanya bicara soal kapsul zat besi atau pemberian obat cacing. Kita harus bicara tentang infrastruktur, pendidikan, dan keadilan sosial.


Penelitian yang terbit di BMC Public Health ini menutup laporannya dengan ajakan yang kuat. Jangan lagi memandang anemia dan penyakit terabaikan seperti infeksi cacing hanya sebagai persoalan kesehatan. Mereka adalah bagian dari cerita besar tentang pembangunan manusia yang tak merata. Jika kita ingin mengakhiri anemia, kita harus membangun lebih dari sekadar puskesmas. Kita harus membangun harapan, sistem, dan komitmen lintas sektor.


Sejatinya tujuan riset, bukan hanya untuk menemukan hubungan antara dua penyakit. Tapi untuk menggugah kesadaran kita bahwa di balik angka statistik, ada kehidupan yang dipertaruhkan. Ada anak-anak yang tumbuh tanpa cukup oksigen di darahnya. Ada perempuan yang melahirkan dalam kondisi lemah. Dan ada dunia yang masih perlu belajar, bahwa menghapus anemia adalah soal memberi keadilan, bukan hanya obat.

SDGsSDGs 3

Detail Paper

JurnalBMC Public Health
JudulImpact of soil-transmitted helminths infections on anemia burden: a global analysis of children under five and reproductive-age women
PenulisRahayu Lubis, Fauzi Budi Satria, Rasmaliah Rasmaliah, Jemadi Jemadi, Siti Khadijah Nasution, Rafdzah Ahmad Zaki
Afiliasi Penulis-

Fitur Aksesibilitas

  • Grayscale

  • High Contrast

  • Negative Contrast

  • Text to Speech

icon

Mengobrol dengan

Halo USU

Halo,
Dengan Layanan Bantuan USU
Ada yang bisa kami bantu hari ini?
- Admin