Pentingnya Inisiasi Menyusui Dini bagi Ibu Bekerja di Indonesia





Pentingnya Inisiasi Menyusui Dini bagi Ibu Bekerja di Indonesia
Diterbitkan oleh
Dr. Isyatun Mardhiyah Syahri SKM, M.Kes.
Diterbitkan pada
Kamis, 13 Februari 2025


Penelitian ini mengungkap peran penting Inisiasi Menyusui Dini (EIBF) dalam meningkatkan keberhasilan menyusui eksklusif (EBF) pada ibu bekerja di Indonesia. Dengan data dari Survei Status Gizi Nasional 2021, studi ini menyoroti tantangan serta kebijakan yang diperlukan untuk mendukung ibu bekerja dalam memberikan ASI eksklusif.
Di tengah gencarnya kampanye kesehatan dan pemenuhan gizi terbaik untuk bayi, menyusui menjadi salah satu aspek yang tak tergantikan dalam kehidupan seorang ibu. Sejak pertama kali bayi lahir, Inisiasi Menyusui Dini (Early Initiation of Breastfeeding/EIBF) sering dianggap sebagai pondasi utama dalam mendukung keberhasilan menyusui eksklusif (Exclusive Breastfeeding/EBF). Tak hanya memberikan manfaat kesehatan jangka panjang bagi bayi, tetapi juga bagi ibu yang merawatnya. Namun, di Indonesia, bagi ibu bekerja, tantangan untuk melakukan EBF seringkali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak bekerja, karena mereka harus membagi perhatian antara pekerjaan, rumah tangga, dan peran mereka sebagai ibu.
Hal tersebut menjadi latar belakang penelitian Isyatun Mardhiyah Syahri, Maya Fitria (Universitas Sumatera Utara), Agung Dwi Laksono, Mara Ipa (Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia), serta Nikmatur Rohmah (Universitas Muhammadiyah Jember), dan Masruroh Masruroh (Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum, Jombang) yang berjudul “Exclusive breastfeeding among Indonesian working mothers: does early initiation of breastfeeding matter?”. Penelitian dengan metode penelitian cross-sectional study ini memeriksa data sekunder dari Survei Status Gizi Nasional Indonesia tahun 2021. Mengungkapkan temuan bahwa keberhasilan EBF di kalangan ibu bekerja di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor Inisiasi Menyusui Dini. Penelitian ini tidak hanya memberikan wawasan tentang seberapa besar pengaruh EIBF terhadap EBF, tetapi juga menyoroti berbagai kendala yang dihadapi oleh ibu bekerja.
Melalui sebuah studi yang melibatkan 4.003 orang ibu bekerja dengan bayi di bawah usia enam bulan, penelitian ini menggali lebih dalam mengenai hubungan antara EIBF dan keberhasilan EBF. Meskipun banyak penelitian sebelumnya yang telah membahas pentingnya EBF, studi ini berfokus pada kelompok ibu bekerja yang memiliki tantangan tersendiri, baik itu dari sisi pekerjaan maupun peran domestik yang mereka jalani. Hasil dari penelitian ini menunjukkan fakta yang menarik: proporsi ibu yang melakukan EBF di Indonesia pada tahun 2021 adalah 51,9%. Sebuah angka yang lebih rendah dari yang diharapkan jika dibandingkan dengan standar global.
“Namun, angka ini tidak menunjukkan gambaran penuh dari tantangan yang dihadapi ibu bekerja. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa ibu bekerja yang melakukan EIBF memiliki kemungkinan 2,053 kali lebih besar untuk melanjutkan praktik EBF dibandingkan dengan ibu yang tidak melakukan EIBF,” ujar Isyatun. Inisiasi menyusui sejak dini, yang dilakukan dalam satu jam pertama setelah kelahiran, terbukti memiliki pengaruh yang signifikan dalam memastikan kelangsungan menyusui eksklusif. Hal ini membuktikan bahwa langkah awal yang dilakukan segera setelah kelahiran dapat memberikan dampak jangka panjang terhadap keberhasilan menyusui.
Selain faktor EIBF, ada pula sejumlah faktor lain yang memengaruhi keberhasilan EBF pada ibu bekerja. Penelitian ini mencatat bahwa jenis tempat tinggal, usia ibu, status pernikahan, pendidikan, kelas prenatal, status kekayaan, usia bayi, jenis kelamin bayi, dan berat lahir adalah beberapa faktor yang berkontribusi. Tentu saja, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor sosial-ekonomi sangat mempengaruhi akses terhadap fasilitas dan dukungan yang diperlukan untuk melanjutkan EBF. Misalnya, ibu yang tinggal di perkotaan mungkin memiliki akses yang lebih mudah terhadap fasilitas kesehatan dan tempat kerja yang mendukung menyusui, sementara ibu yang tinggal di daerah terpencil mungkin menghadapi lebih banyak kendala.
“Dalam diskusi yang lebih mendalam, kami melihat berbagai tantangan yang dihadapi oleh ibu bekerja dalam menjalani praktik EBF. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya dukungan dari tempat kerja,” jelas Isyatun. Banyak tempat kerja yang belum menyediakan fasilitas ramah menyusui, seperti ruang menyusui atau waktu istirahat yang cukup bagi ibu untuk memerah ASI. Selain itu, norma sosial yang seringkali menilai ibu bekerja sebagai kurang perhatian terhadap anak juga menjadi hambatan psikologis yang berat. Tekanan pekerjaan yang tinggi, ditambah dengan tuntutan untuk menjaga kualitas hubungan keluarga, menambah beban bagi ibu yang ingin tetap menyusui secara eksklusif. Hal ini membuat kebijakan yang mendukung ibu bekerja menjadi sangat penting dalam mendukung kesuksesan EBF.
Lebih jauh lagi, dukungan keluarga juga menjadi faktor penting yang memengaruhi keberhasilan EBF. Dalam banyak kasus, peran suami dan anggota keluarga lainnya sangat menentukan apakah ibu dapat terus menyusui eksklusif atau tidak. Ketika keluarga, terutama suami, memberikan dukungan penuh terhadap keputusan ibu untuk menyusui dan menyediakan fasilitas yang mendukung, seperti membantu merawat bayi saat ibu bekerja, maka peluang untuk melanjutkan EBF akan semakin besar.
Melihat kenyataan ini, jelas bahwa keberhasilan EBF tidak hanya bergantung pada niat dan kemampuan ibu, tetapi juga pada dukungan sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, kesimpulan dari penelitian ini sangat penting, terutama bagi pembuat kebijakan. Pemerintah Indonesia perlu merancang kebijakan yang lebih mendukung EIBF dan EBF bagi ibu bekerja. Salah satu langkah penting yang dapat diambil adalah memperpanjang masa cuti melahirkan untuk ibu bekerja. Dengan adanya waktu yang cukup untuk pulih setelah melahirkan, ibu dapat lebih fokus untuk memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya. Selain itu, kebijakan yang mewajibkan perusahaan untuk menyediakan fasilitas menyusui yang memadai di tempat kerja juga perlu dipertimbangkan. Fasilitas yang ramah ibu menyusui, seperti ruang khusus untuk memerah ASI, dapat memudahkan ibu untuk tetap memberikan ASI kepada bayinya meskipun harus bekerja.
Studi lebih lanjut diperlukan untuk menggali lebih dalam hambatan-hambatan kualitatif yang menghalangi ibu bekerja dalam melaksanakan EBF. Faktor-faktor seperti norma sosial, stigma, dan tekanan psikologis yang dialami ibu bekerja perlu diteliti lebih lanjut agar solusi yang lebih komprehensif dapat ditemukan. Melalui kebijakan yang lebih mendukung, serta adanya perubahan dalam budaya sosial yang lebih mendukung peran ibu dalam keluarga dan masyarakat, diharapkan angka keberhasilan EBF di Indonesia dapat meningkat.
Keberhasilan EBF bukan hanya sebuah pencapaian individu, tetapi juga sebuah upaya kolektif yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Inisiasi menyusui dini, sebagai langkah awal, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam memastikan keberlanjutan EBF, terutama bagi ibu bekerja. Oleh karena itu, perhatian lebih terhadap kondisi ibu bekerja, serta penguatan kebijakan dan dukungan sosial yang ada, sangat diperlukan untuk memastikan setiap bayi mendapatkan gizi terbaik dari ASI eksklusif. Kita semua memiliki peran dalam mewujudkan masyarakat yang lebih sehat melalui dukungan terhadap ibu yang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.” Tutup Isyatun