Dosen USU Teliti Ancaman Kepunahan Orangutan Tapanuli

Onrizal, S.Hut, M.Si, Ph.D, salah seorang peneliti kehutanan dari Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, saat ini tengah mempelajari keanekaragaman hayati di Sumatera, tempai ia dilahirkan dan dibesarkan. Ia lahir Sungai Dareh, daerah di tepian Sungai Dareh, Sumatera Barat.
24 Mei 2022 /  Renny Julia Harahap
   
Dosen USU Teliti Ancaman Kepunahan Orangutan Tapanuli

Orangutan yang merupakan salah satu obyek penelitiannya, terindikasi menginspirasi kisah orang pendek yang banyak beredar turun-temurun di tengah masyarakat. Meskipun kisah itu mungkin hanya sebuah cerita legenda yang sulit dibuktikan kebenarannya, tetapi sejalan dengan kenyataan yang terjadi saat ini: makhluk-makhluk itu memang sudah lama menghilang dari hutan.


Onrizal yang lahir dan besar di daerah tersebut, masih mengingat dengan jelas kisah masa kecil tentang makhluk mirip manusia yang hidup di hutan. Legenda itu menceritakan makhluk yang disebut ‘orang pendek’ oleh penduduk setempat, telah menghilang dari hutan pada kisaran tahun 1970-an.


Dalam studi terbaru yang dipublikasikan secara populer oleh situs berita lingkungan Mongabay yang mengacu pada publikasi di jurnal internasional bergengsi PLOS ONE, Onrizal dan peneliti lain menjelajahi catatan sejarah untuk mencari referensi tentang orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Spesies ini merupakan orangutan paling baru dan sekaligus tercatat sebagai kera besar paling terancam punah di dunia. Orangutan Tapanuli menghadapi risiko kepunahan jauh lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya.


Saat ini, orangutan Tapanuli diperkirakan menempati hanya 2,5% dari habitat historis mereka, dan ancaman kepunahan terkait dengan kehilangan habitat dan perburuan. Ancaman ini bertahan hingga kini dan makin diperparah oleh pengembangan infrastruktur dan konversi hutan di dalam habitat terakhir orangutan Tapanuli di Sumatera Utara. Menurut para peneliti, dengan habitat makin menyusut dan perburuan, kepunahan orangutan Tapanuli tidak bisa dihindari.


Saat ini, sebagaimana disebutkan dalam penelitian tersebut, kurang dari 800 individu orangutan Tapanuli hidup di hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Habitat yang masih tersisa diperkirakan hanya mencakup 2,5% dari kisaran area tempat mereka hidup sekitar 130 tahun lalu ketika ditemukan para peneliti. Jumlah tersebut menyusut dari hampir 41.000 km2 pada 1890-an, jadi hanya 1.000 km2 pada 2016.



Untuk sampai pada angka-angka ini, para peneliti merujuk literatur era kolonial, seperti surat kabar, jurnal, buku dan catatan museum, dari awal 1800-an hingga 2019. Mereka menemukan data-data ini di database, termasuk Perpustakaan Warisan Keanekaragaman Hayati dan surat kabar bersejarah online, buku dan jurnal yang menggunakan kata kunci spesifik lokasi seperti “Sumatera”, “Batang Toeroe,” dan “Tapanoeli,” dengan ejaan bahasa Belanda.


Mereka para peneliti kemudian melakukan referensi silang dengan menelusuri istilah yang secara spesifik merujuk pada orangutan: “orang oetan,” “orang-oetan,” “orangutan,” dan juga “mawas,” “mias” dan “maias,” yang merupakan nama lokal untuk orangutan yang digunakan secara umum dalam literatur sejarah.


Erik Meijaard, penulis utama dalam studi itu sekaligus asisten profesor konservasi di University of Kent, Inggris, menyatakan bahwa mereka kehilangan sebagian besar gambaran tentang konservasi karena mengabaikan informasi bersejarah. Secara historis, para peneliti menemukan, orangutan Tapanuli mendiami wilayah yang jauh lebih luas, dan pada ketinggian lebih rendah daripada hutan pegunungan Batang Toru yang mereka huni saat ini.


Sebagian besar habitat historis itu hilang pada 1950-an karena pertanian rakyat, sebelum muncul pembangunan perkebunan skala industri di Sumatera pada 1970-an. Orangutan yang saat ini tersebar di wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, kini sudah 52% mengalami deforestasi pada 1930-an. Kombinasi dari fragmentasi historis habitat hutan dan perburuan yang tidak berkelanjutan kemungkinan besar mendorong mereka dari kawasan hutan dataran rendah, tempat mereka dulu hidup, ke hutan dataran tinggi di ekosistem Batang Toru.


Merujuk pada informasi yang tersedia, para peneliti menganggap, kemungkinan besar Pongo tapanuliensis diburu hingga punah di bagian yang makin terfragmentasi dari wilayah jelajah sebelumnya. Mereka bertahan di pegunungan Batang Toru yang terpencil dan berbatu, yang mungkin selama ini memberikan perlindungan bagi orangutan dari perburuan. Temuan ini menunjukkan, orangutan Tapanuli bukanlah spesies yang khusus beradaptasi untuk hidup di dataran tinggi seperti yang dinyatakan beberapa ilmuwan.



Peta Pulau Sumatera menunjukkan sebaran terkini Pongo tapanuliensis dan Pongo abelii, serta area utama yang disebutkan di penelitian. Temuan ini makin meningkatkan keprihatinan atas kelangsungan hidup orangutan Tapanuli. Saat ini, diperkirakan kurang dari 800 orangutan ini hidup di hutan Batang Toru, terbagi di antara tiga subpopulasi yang masih terhubung.


Spesies orangutan Tapanuli menghadapi konflik ancaman perburuan dan pembunuhan, serta hilangnya habitat karena pertanian maupun perkebunan. Ancaman baru juga muncul, yaitu pembangunan infrastruktur, dan pembangunan jalan PLTA yang menyebabkan fragmentasi habitat tersisa dari orangutan Tapanuli.


Para ahli konservasi mengungkapkan, ancaman paling berat saat ini berasal dari pembangkit listrik tenaga air Batang Toru. Pembangunan PLTA ini dianggap membahayakan konektivitas antara subpopulasi orangutan di bagian barat, timur dan selatan. Fragmentasi ini akan memotong keragaman kumpulan gen orangutan secara dramatis, yang menyebabkan perkawinan sedarah, timbul penyakit, dan akhirnya setiap subpopulasi punah.


Para peneliti menghitung, bahwa lebih dari satu persen orangutan dewasa hilang dari alam liar per tahun, baik dibunuh, translokasi, atau ditangkap. Dengan data itu, kepunahan menjadi tidak terhindarkan, terlepas dari berapapun jumlah awal populasi.


Dari analisis ini menunjukkan, orangutan Tapanuli yang tersisa berada pada habitat dataran tinggi yang tak optimal dan lebih dari 1% populasi ditangkap setiap tahun. Hal ini, berdasarkan data pembunuhan, translokasi dan penyelamatan yang dilaporkan, lalu memprediksi penurunan populasi terus-menerus.


Menurut perkiraan para peneliti, tanpa upaya penyelamatan lebih lanjut, spesies ini bisa punah dalam beberapa generasi ke depan. Fragmentasi hutan Batang Toru yang sedang berlangsung hanya memperburuk risiko ini. Onrizal meminta semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil, ilmuwan, donor, perwakilan masyarakat lokal, dan industri, untuk sesegera mungkin mengembangkan rencana aksi nyata demi kelangsungan hidup spesies ini. (RJ/bs)

  • More Article


    Loading...Loading...Loading...Loading...
Accessibility Icon
disability features
accesibility icon
accesibility icon
accesibility icon
accesibility icon
Scroll Down